August 19, 2008

Le Carrefour Javanais


Narasi sejarah umumnya dituturkan seturut waktu (kronologis), tapi buku ini menuturkan seturut perubahan lapis budaya. Inilah buku sejarah pertama tentang Nusantara yang dituturkan secara les annales. Denys Lombard telah merintis sebuah pendekatan yang sangat orisinil-"geologi budaya"-dengan mengamati berbagai lapisan budaya, mulai dari yang tampak sempai yang terpendam dalam sejarah.

Ibarat lapisan kulit bumi, kebudayaan ada pada lapis terdalam. Di atas lapis kebudayaan ada sosial, ekonomi, dan politik. Makin tinggi lapis geologis, semakin cepat perubahan di lapisan itu. Perubahan di lapis lebih bawah sontak mempengaruhi lapis yang lebih tinggi. Politik boleh berubah seribu kali sehari, tetapi perubahan di lapis kebudayaan belum tentu berubah dalam rentang seribu tahun. Sebaliknya, gegar-budaya berdampak pada lapis sosial, ekonomi, dan politik. Setiap lapisan budaya itu diuraikan sejarah perkembangannya, dan diulas unsur masyarakat yang mengembangkannya. Pertama-tama dibahas unsur-unsur budaya modern, yaitu zaman pengaruh Eropa (Buku I: Batas-batas Pembaratan); kedua unsur budaya yang terbentuk sebagai dampak kedatangan agama Islam dan hubungannya dengan dunia Cina (Buku II: Jaringan Asia); dan ketiga, unsur budaya yang dipengaruhi oleh peradaban India (Buku III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris).

Adalah di Jawa, sejarah Indonesia dimulai, dan mencapai puncaknya pada zaman Majapahit (abad ke-13 sampai ke-16).

Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda yang kuat, juga memilih Jawa (Batavia) sebagai pusat perdagangan Belanda untuk kawasan Nusantara, dan selanjutnya menyebarkan pengaruh ke seluruh Jawa. Bila semula VOC berdagang secara damai, lambat laun ia memasuki wilayah politik untuk menguasai perdagangan. Walau jumlahnya cuma sedikit-menurut angka tahun 1674 hanya sekitar 2.000 orang-mereka mampu membuat Jawa, yang ketika itu diperkirakan berpenduduk 1-2 juta orang, tunduk. Menurut Lombard, itu dikarenakan para bangsawan Jawa tercabik-cabik dalam perang suksesi, sehingga mudah diadu domba. VOC membela salah satu pihak dengan imbalan boleh mengendalikan perdagangan di kerajaan itu (halaman 61-66, Buku I).

Setelah VOC bangkrut dan kendali atas Nusantara diambil alih Kerajaan Belanda (1800), pengaruh Belanda makin meluas ke berbagai aktivitas masyarakat. Budaya dan kebiasaan Belanda merasuk dalam arsitektur, sistem pemerintahan, bahkan cara berpakaian di keraton Jawa. Munculnya sastrawan, komponis, dan pelukis-pelukis di perkotaan tentu tak lepas dari pengaruh Belanda. Tak bisa diabaikan munculnya komunitas Katolik dan Kristen di beberapa daerah juga karena pengaruh Belanda (halaman 226-235). Bahkan, tulis Lombard, Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo (1908) adalah buah pendidikan Belanda. Selepas kemerdekaan Indonesia, pengaruh itu masih terasa, meskipun Indonesia berupaya kembali ke nilai-nilai Timur (halaman 226-246).

Dalam jilid pertama itu Lombard tampak berambisi menampilkan kajian komprehensif tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa akibat pengaruh Barat. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat pada karya besar ini, Lombard tak menjelaskan secara memuaskan mengapa masyarakat pedesaan, khususnya kaum santri dan pedagang muslim, relatif mampu menghindari pengaruh Belanda. Tak juga dijelaskan mengapa justru para pedagang muslim dan santri yang pertama kali membentuk organisasi massa, yang pengaruhnya mengindonesia (Syarekat Islam), bukan para kaum terdidik pribumi yang belajar di sekolah Belanda.

Jilid kedua (498 halaman) dan jilid ketiga (346 halaman) terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan jilid pertama. Pada jilid kedua, Lombard menggambarkan dengan gamblang pengaruh kebudayaan Islam dan Cina pada orang Jawa. Begitu pula pada jilid ketiga, yang menguraikan proses Indianisasi (masuknya agama Hindu dan Budha), yang memang meresap ke segenap aktivitas masyarakat.

Tesis Lombard tentang pengaruh masuknya Islam, Cina, Hindu, dan Budha sebenarnya tak berbeda dengan tesis penulis lain. Tapi ia mampu menyajikan fakta yang lebih menyeluruh.

Trilogi Lombard ini pada awalnya susah dipahami bagi yang terbiasa membaca narasi sejarah kronologis dan melompati kata pengantar. Tapi setelah memahami metodologi penulisannya, buku ini menjadi enak dibaca dengan dukungan data-data yang terinci. Pandangan ini bertolak-belakang dengan ajaran sejarah zaman Orde Baru (sampai hari ini) di Indonesia yang menyatakan ciri kebudayaan cuma ada tujuh (teknologi, matapencaharian, kekerabatan, bahasa, kesenian, agama, dan pengetahuan). Cara pandang klasik yang diajarkan di sekolah Indonesia lebih sering menciptakan cara pandang eksklusif alih-alih kesadaran inklusif berbangsa.

August 18, 2008

Pertarungan Identitas Islam Jawa


Konon, pada tahun 1870-an, ada seorang bupati di Jawa yang sangat mengagumi budaya, cara hidup, dan pendidikan Belanda sampai-sampai pernah berujar bahwa ia ingin hidup seperti seorang Belanda. Padahal, ia seorang Muslim. Ada yang bertanya kepadanya, apakah itu berarti ia akan pindah dan memeluk agama Kristen? ”Ah,” jawabnya, ”kalau mau jujur, saya lebih suka memiliki empat orang istri dan satu Tuhan ketimbang seorang istri dan tiga Tuhan.”

Cerita lucu itu, dikutip Ricklefs dari laporan CE van Keesteren tahun 1870, bisa menggambarkan soal yang rumit dan subtil tentang persoalan identitas. Sang bupati adalah wakil priayi, elite Jawa yang memperoleh hak privilese akibat cultuurstelsel yang dipaksakan Belanda pada tahun 1830-an, dan merasa bahwa modernitas yang dibawa Belanda dapat membuka masa depan yang jauh lebih cerah serta, sekaligus, kemungkinan untuk bangkitnya peradaban Jawa adiluhung sebelum Islam datang. Tetapi, mengapa sebelum Islam?

Benar, sang bupati adalah seorang Muslim. Akan tetapi, ia tidak ingin mengikuti visi Islam puritan, yang semakin kuat pengaruhnya semenjak kembalinya jemaah haji dari Tanah Suci. Begitu juga ia tidak lagi merasa krasan dengan sintesa mistik yang dulu menjadi serat kultural kejawaannya, di tengah kawruh modern yang dibawa oleh sains Eropa dalam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Namun, bagi orang seperti dia, kekristenan dengan doktrin trinitasnya (tetapi monogamis!) bukan pula alternatif menarik.

Maka, ke arah mana dia harus berpaling? Kembali pada peradaban Jawa pra-Islam, apa yang waktu itu dikenal sebagai zaman buda dan agama budi yang (lebih) utama. Pada bulan Mei seratus tahun lalu, visi itu menjelma jadi organisasi modern (bukan yang pertama di tanah Hindia Belanda, tambahan): Budi Utama (selalu dieja: Utomo, dan sekaligus menjawakannya).

Serat kultural Jawa
Identitas memang perkara licin, selalu tak (pernah) pasti. Alih-alih dari itu, identitas senantiasa merupakan pertaruhan, pertarungan, ataupun negosiasi. Kepastian identitas—apalagi jika mendapat terjemahan institusional dan politisnya—malah bisa sangat berbahaya. Buku Ricklefs memberi kita wanti-wanti soal itu.

Buku ini sesungguhnya merupakan bagian kedua dari sebuah trilogi ambisius yang mau melacak dan memerikan proses Islamisasi Jawa sejak abad XIV sampai sekarang. Dalam bagian pertama, Mystic Synthesis in Java (2006), Ricklefs menelusuri masuknya Islam ke tanah Jawa melalui berbagai tahapan konflik, rekonsiliasi, ataupun adaptasi yang rumit sehingga menghasilkan serat kultural bagi identitas Jawa—apa yang disebut Ricklefs sebagai ”sintesa mistik Jawa”. Polarising Javanese Society melanjutkan proyek itu, menyusuri pergumulan selama satu abad (1830-1930) ketika Jawa mengalami perubahan fundamental sebagai akibat penetrasi kolonial, yang membuat serat kultural tadi dipertanyakan ulang. Bagian ketiga, yang belum terbit, rencananya akan menelusuri pertarungan yang sama sejak awal abad XX sampai sekarang.

Dengan istilah ”sintesa mistik Jawa” yang lebih netral, alih-alih ”agama Jawa” (Geertz) atau ”Javanism” yang dulu sering dipakai para misionaris Belanda, Ricklefs menggarisbawahi bahwa identitas Islam sungguh-sungguh telah menjadi serat kultural terpenting bagi orang Jawa, baik pada lingkup aristokrat maupun masyarakat pada umumnya. Berkaitan dengan itu, elemen kedua dari sintesa tersebut adalah luasnya praktik-praktik ritual yang menjadi kelima soko guru Islam: syahadat, shalat lima waktu, bersedekah, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi ke Tanah Suci.

Yang menarik, elemen ketiga dari sintesa tersebut, menurut Ricklefs, adalah penerimaan terhadap figur-figur adikodrati yang selama ini hidup, dipercayai, dan dipraktikkan oleh penganut kepercayaan lokal masyarakat Jawa. Memang aneh melihat bagaimana tuntutan monoteis Islam yang keras dapat bersanding damai dengan figur-figur adikodrati kepercayaan lokal, seperti Nyai Roro Kidul, Sunan Lawu, Semar, dan seterusnya. Namun, Ricklefs yakin, pada masa sekitar tahun 1800-1830 ada semacam konsensus bahwa sintesa ketiga elemen itu menjadi sumber-sumber identitas kultural seseorang yang menentukan apa artinya menjadi ”orang Jawa”.

Segalanya berubah sejak dekade 1830-an. Berakhirnya Perang Diponegoro, dimulainya cultuurstelsel, serta perbaikan sarana transportasi dan komunikasi memberi tekanan luar biasa pada sintesa mistik itu yang, kemudian, menceraiberaikan elemen-elemennya. Proses purifikasi paham keagamaan dan reaksi terhadapnya menjadi benang merah yang memintal buku ini.

Dengan mendedah data statistik berdasarkan asal-usul jemaah haji, Ricklefs menengarai mereka yang setelah kembali dari Tanah Suci berusaha melakukan reformasi keagamaan (sering dikenal sebagai ”guru kitab”), sebagian besar datang dari daerah-daerah di mana masih belum banyak figur kiai tradisionalnya, yakni mereka yang biasanya dikenal sebagai ”guru tarekat”. Data statistik itu, kata Ricklefs, setidaknya mengisyaratkan adanya ”kontestasi gagasan yang sedang berkembang di dalam lingkup Islam, di mana para kiai dan haji memainkan peran masing-masing yang berbeda”. Atau, sembari mengutip pengamatan jeli E GobbĂ© tahun 1928: "Pada banyak wilayah terlihat konflik yang muncul antara para guru tarekat dan guru kitab..." (hal 63-69).

Arus purifikasi yang dibawa ”golongan putihan” ini menciptakan polarisasi sosial yang semakin runcing. Sebagian besar masyarakat, yang juga Muslim, kini menjadi ”bangsa abangan”—sebuah kategori sosial yang bahkan belum dikenal sebelum 1850-an—yang dianggap ”tidak tahu agama” atau bahkan ”belum beragama” karena masih mempraktikkan kepercayaan lokal (hal 103-104).

Menariknya, proses purifikasi serupa juga terjadi dalam lingkup kekristenan, dengan dihancurkannya eksperimen ”Kristen Jawa” ala Sadrach oleh ”Kristen londo” yang dibawa para misionaris (Bab V). Sementara itu, para priayi, kaum aristokrat Jawa yang diuntungkan oleh cultuurstelsel dan menjadi ”elite profesional” dalam struktur birokrasi kolonial, mulai mengembangkan gagasan-gagasan baru mereka tentang kejawaan pra-Islam (Bab VI) lewat Bramartani, harian pertama berbahasa Jawa yang terbit pertama kali tahun 1855 di Surakarta. Bagi para priayi, tulis Ricklefs, ”Budaya Eropa seperti membuka pintu ke dalam penemuan modern dan kosmopolitanisme, akan tetapi pada saat bersamaan pada identitas kultural Jawa yang lebih adiluhung, lebih otentik” (hal 129).

Identitas yang terbelah
Apa yang dilakukan Ricklefs pada dasarnya mau mengurai pertarungan dan perubahan identitas ”Islam lokal” di Jawa selama satu abad yang menentukan. Sampai tahun 1830, rajutan identitas itu masih utuh terjaga oleh sintesa mistik Jawa dengan ketiga elemennya. Tetapi, sejak itu tiap-tiap elemen dalam sintesa tersebut tercerai-berai dan makin memperlebar polarisasi masyarakat.

Memasuki abad ke-20, polarisasi masyarakat Jawa di atas memperoleh terjemahan institusional dan politisnya. Identitas tiap-tiap kelompok tidak lagi cair, melainkan mengeras dan saling berhadapan. Itulah cikal bakal dari apa yang sering disebut sebagai ”politik aliran”, ketika perbedaan di dalam suatu tradisi keagamaan memperoleh reproduksinya pada tataran sosial politik. Kita tahu perbedaan ”aliran” ini menjadi salah satu faktor utama pembunuhan massal 1965-1966 yang mengawali rezim totalitarian Orde Baru.

Banyak orang menengarai, ”politik aliran” kini tidak lagi punya jejak pada masa reformasi. Tentu saja ini butuh penelitian lebih mendalam. Akan tetapi, buku Ricklefs memberi kita wanti-wanti betapa berbahayanya ketika perbedaan internal di dalam suatu tradisi keagamaan direproduksikan secara sosial politik, dan karena itu sangat gayut dengan masa sekarang. Di tengah pertarungan identitas yang kini marak di lingkungan gerakan Islam, refleksi Ricklefs patut direnungkan sungguh-sungguh.

Sejatinya, tulisan ini didasarkan pada tulisan Trisno S. Sutanto