October 20, 2008

Hukum Nikah AntarAgama: Negara atau Agama Melarang?

Teks-teks suci tidak berdiri pada ruang hampa ketika ia menyapa manusia. Memang banyak peristiwa di sekitar kita yang menunjukkan ambiguitas teks ketika berhadapan dengan realitas bahwa cinta suci tidak memandang sekat-sekat etnisitas dan agama...

Untuk melihat persoalan ini, mungkin dua hal yang perlu dibahas. Dilihat dari hukum positif, negara memang tidak mengizinkan kawin antaragama. Dalam hukum agama yang umum ada dua penjelasan: Pertama, secara eksplisit teks Alquran membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. Itu terdapat dalam surat Al-Maa’idah ayat 5 (teks yang berbeda, lihat juga Korintus 7:15) Bahkan, ada pembahasan ulama yang lebih luas tentang ayat itu. Umumnya, yang masuk lingkup ahli kitab itu hanya Yahudi dan Kristen. Tapi dalam ayat itu bukan disebut ahli kitab, tapi alladzîna ûtû al-Kitâb, orang-orang yang mempunyai kitab suci.

Dalam Alquran terdapat kategorisasi golongan musyrik, mukmin dan ahli kitab. Orang musyik adalah mereka yang percaya pada adanya Tuhan, tapi tidak percaya pada kitab suci dan atau tidak percaya pada salah seorang nabi. Mereka itu adalah musyrik Mekkah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi. Kalau ahli kitab, mereka percaya pada salah seorang nabi dan salah satu kitab suci.

Yang diistilahkan Alquran dalam surat al-Maa’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab. Mereka percaya bahwa itu adalah kitab suci dan yang diutus kepada mereka adalah seorang nabi; maka menikahi mereka itu dibolehkan. Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gauthama adalah seorang Nabi. Konghuchu, dianggap nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho. Mereka itu dianggap sebagai orang yang diberi kitab dan boleh dikawini. Mereka kadang mengatakan, ini kitab dari Nabi Ibrahim, kok! Atau kitab dari Nabi Luth. Yahudi boleh karena jelas diutus padanya Musa. Umat Nasrani mempunyai Nabi Isa. Itu beberapa pendapat. Ulama yang mempunyai pembahasan yang lebih luas memasukkan Konghuchu, Budha dan Shinto sebagai yang boleh dikawini. Itu memang sudah dipraktekkan Islam dan sampai sekarang banyak sekali laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim.

Yang mempraktekkan itu misalnya, Yasser Arafat dengan Suha dan itu tidak menjadi masalah di Palestina sana. Rasullulah sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam. Utsman kawin dengan salah seorang ahli kitab. Ada yang dengan Kristen dan juga dengan Yahudi. Sampai sekarang, praktek pernikahan antaragama itu berjalan terus. Sebagian ulama melarang, tapi teks secara eksplisit membolehkan. Persoalan kita tadi, bagaimana kalau sebaliknya, yakni laki-lakinya non-muslim dan perempuannya Islam.

Pertama-tama perlu dijelaskan, bahwa teks Alquran secara eksplisit tidak ada yang melarang. Hanya saja, mayoritas ijtihad para ulama, termasuk di Indonesia, tidak membolehkannya meski secara teks (Alquran) tidak ada larangan. Makanya, yang membolehkan memiliki landasannya dan yang melarang juga punya landasan tertentu. Larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam itu tidak disebutkan dalam Alquran. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.

Mengenai masalah anak, karena yang penting, bagaimana suami-isteri itu mendidik anak secara baik. Karena dalam semua agama mengandung nilai moral yang sama dan bersifat universal. Kita mendidik anak untuk berbuat baik pada orangtuanya. Kita mendidik anak kita supaya jangan berbuat jahat dan berbuat baik pada siapa saja. Itu adalah nilai-nilai universal yang sangat ditekankan semua agama. Jadi kita didik anak kita secara baik kemudian dia pilih agama apa, hal itu terserah anak.

Salah satu alasan sebagian ulama mengharamkan laki-laki non-muslim menikah dengan wanita muslim karena dikhawatirkan istri atau anak-anaknya menjadi murtad. Karenanya, dalam kasus ini, ijtihad dan pendapat para ulama yang melarang wanita muslim menikah dengan pria non muslim perlu ditinjau ulang. Dalam masalah warisan, pendapat ulama berbeda-beda. Ada yang menyebut tidak boleh saling mewarisi kalau berbeda agama. Tapi ada yang berpendapat sesungguhnya sang isteri bisa mewarisi suami dan tidak bisa sebaliknya. Betapa pun, ada solusi terbaik dari Alquran, wasiat misalnya. Kalaupun terhalang, suami bisa saja berwasiat, “..ini rumah kalau saya meninggal nantinya untuk kamu. Atau buat anak ini dan itu...” Itu boleh saja.

Terdapat hadist Nabi tentang pernikahan yang memakai empat kriteria: kecantikan, kekayaan, keturunan dan agamanya. Menurut pendapat sebagian ulama, kita dianjurkan memprioritaskan agamanya. Kemudian kalau ada orang bilang ini ada perempuan cantik dan saya ingin kawin dengan dia misalnya. Apakah tidak sah perkawinannya? Tetap sah. Tapi Nabi menganjurkan memilih agamanya, artinya orang yang bermoral. Agama dalam arti nilai-nilai yang baik. Namun bila ada yang lebih memilih kekayaan dan kecantikan dalam urusan mencari jodoh, maka tidak dilarang oleh agama dan kawinnya tetap saja sah.

Ada seorang sahabat bernama Hudzaifa al-Yamani yang kawin dengan perempuan Yahudi, kemudian Umar menulis surat padanya agar menceraikan istrinya. Kemudian Hudzaifah ini menjawab, apakah perkawinan kami haram? “Tidak haram”, kata Umar, “hanya saja, saya khawatir perkawinan kamu itu nantinya berdampak negatif”. Apa maksudnya? Begini, ada persoalan sosial pada masa itu. Waktu itu Islam dalam penyebaran ajarannya mengalami banyak sekali tantangan dari luar. Banyak para sahabat yang meninggal dalam medan perang yang menyebabkan janda-janda perempuan menjadi membludak. Kalau laki-laki muslim menikah dengan non-muslim, lantas perempuan muslim, khususnya para janda ini bagaimana? Karena itu Umar secara politis melihat tinjauan strategis itu. Karena dia ketika itu berkuasa, maka dia melarang itu. Larangan Umar bisa dibaca sebagai larangan kekuasaan, dan bukan larangan agama. Sama saja dengan hukum negara kita sekarang ini. Dalam kasus ini, laki-laki muslim tidak dibolehkan menikahi perempuan non-muslim, padahal hukum agama membolehkan.

Reorientasi Dakwah Islam dan Pengabaran Injil

Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya.

Islam dan Kristen adalah dua agama paling gencar dalam menyampaikan ajaran-ajarannya ke tengah masyarakat. Penyampaian ajaran itu dalam Islam disebut dakwah, dan dalam Kristen disebut misi atau pengabaran injil. Dalam Islam, perintah penyebaran ajaran itu tertuang dalam Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad. Allah berfirman, “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat-kebijaksanaan, nasehat yang baik, dan dialog yang konstruktif (wa jadilhum billati hiya ahsan)” [QS, al-Nahl (16): 125]. Nabi Muhammad pun pernah bersabda, “Sampaikanlah sekalipun satu ayat dari ajaranku (ballighu `anni walaw ayatan)”

Sementara dalam Kristen, Matius 28: 19-20 adalah ayat yang paling kerap dijadikan pegangan sebagai landasan pengabaran itu. Yesus berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”

Pada dasarnya, pengabaran ajaran agama adalah baik. Saya percaya, baik di dalam Alqur’an maupun Injil, terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti perintah berbuat adil, mengasihi-mencintai sesama, maupun membantu kelompok-kelompok lemah-tertindas. Tidak ada agama yang datang sebagai ekspresi kesenangan dan kenikmatan hidup. Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya.

Namun, tak bisa disangkal, bahwa di dalam kitab-kitab itu tercantum pula partikular-partikular ajaran yang sekiranya diimplementasikan secara harafiah akan potensial menimbulkan petaka dan ketegangan antar-umat beragama. Dengan ayat-ayat partikular itu, tak sedikit orang berpendirian perihal pentingnya melakukan islamisasi dan kristenisasi. Banyak orang bangga dan merasa puas ketika berhasil mengkristenkan atau mengislamkan orang lain. Seakan pahala Tuhan ada dalam genggaman begitu seseorang berhasil membaptis dan men-syahadat-kan orang lain, tak peduli walau itu dilakukan dengan paksaan dan intimidasi. Untuk mengukuhkan agendanya itu, Matius 28 pun disitir lepas dari konteksnya. Begitu juga, tidak sedikit tokoh Islam dengan menyitir satu-dua ayat Alqur’an yang memerintahkan mengungguli umat agama lain dengan alasan mereka kafir dan musyrik.

Mengabarkan dan mendakwahkan ayat-ayat yang eksklusif-radikal seperti itu jelas kontra-produktif bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Indonesia. Hemat saya, yang perlu dikabarkan buat bangsa Indonesia yang lagi mengalami multi-krisis bukan Matius 28, melainkan Matius 19: 16-20 yang memuat ajaran kasih dan etika sosial. Disebutkan, ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata; "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus: "Apa sebabnya engkau bertanya kepadaku tentang apa yang baik? Hanya satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah" Orang itu kembali bertanya kepadanya, "Perintah yang mana?"’ Kata Yesus, "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”

Yesus Kristus pernah ditanya seorang ahli Taurat tentang hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat. Yesus menjawab,”Kasihanilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.” Lalu Yesus ditanya kembali tentang hukum kedua yang sama dengan itu. Yesus menjawab, “Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” [Matius 22: 36-40]. Ayat-ayat itu sebagai bukti kuat keberpihakan dan komitmen Kristen terhadap tegaknya etika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Di tengah angka pengangguran, kebuta-hurufan, dan kemiskinan yang tinggi di Indonesia, ayat-ayat dalam Injil tersebut makin menemukan relevansi dan signifikansinya untuk diterapkan.

Selanjutnya, dalam konteks Indonesia yang lembek dalam penegakan hukumnya, umat Islam lebih relevan mendakwahkan ayat-ayat keadilan Alqur’an ketimbang ayat-ayat yang menyuruh membunuh orang-orang kafir dan kaum musyrik. Allah berfirman, “Berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada ketakwaan” (QS, al-Ma’idah [5]: 8). Penegakan keadilan yang dikehendaki Alqur’an meliputi keadilan sosial, ekonomi, politik, dan keadilan di bidang hukum. Allah menegaskan, keadilan merupakan ukuran kualitas ketakwaan seseorang. Alqur’an pun mengatakan bahwa penegakan keadilan itu bukan hanya spesifik syariat Islam, melainkan juga mencakup pada seluruh syariat agama-agama semitik lainnya.

Sekiranya ayat-ayat pembebasan yang lebih diutamakan sebagai materi dakwah-misi para pengkhotbah agama di Indonesia, saya kira ketegangan yang kerap menyertai hubungan antar-umat beragama di Indonesia bisa dikurangi. Sebab, fokus perhatian muballigh dan missionaris tidak lagi pada penambahan jumlah keanggotaan suatu agama, melainkan pada kerja sama untuk advokasi dan pembebasan masyarakat tertindas. Namun, jika tetap tak ada perubahan fokus pada misi dan dakwah Islam dan Kristen, maka kekisruhan yang menyertakan penganut dua agama tersebut akan tetap sulit untuk akhiri. Untuk itu, kita tidak hanya perlu menelaah kembali makna dakwah, misi atau pengkabaran Injil, tapi juga perlu melakukan reorientasi dan perubahan fokusnya. [Abd Moqsith Ghazali, dalam JIL, edisi Indonesia. 4 Agustus 2008]

October 19, 2008

IBU...

Bu, ingatkah janjiku dulu?
Saat sandikala perlahan datang menumpu hari
Saat potongan ayam kita bubuhkan untuk lauk dagangan...

Ibu mungkin sudah lupa...
Sembari bekerja kita berbagi
Tentang untung rugi dan pengeluaran
Tentang nyeri tulang yang tak tertahankan
Tentang luka gores tangan yang telah mengering

Bu, jika aku mampu nanti jangan ibu tidur beralas tikar
Tak boleh lagi ibu basuh muka dengan air timba
Jangan pernah ibu melangkah saat kaki meradang

Bu...
Saat anakmu telah bisa, kenapa ibu tak bisa menunggu?

October 16, 2008

...W 871 HR, hanya itu..
Hanya angka dan aksara,
satu dari sekian obsesi.

Hanya untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa kehidupannya
tidak hanya lebih dari sekedar hidup...

October 14, 2008

TANTANGAN REALISTIS DALAM KEHIDUPAN (AGAMA) PLURAL

“...politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara simultan menjadi biang pencipta kekerasan dan teror di seantero dunia...” (Samuel Huntington)

Proses labelisasi terhadap sesama akan selalu terjadi pada kehidupan manusia di planet ini. Labelisasi terjadi atas dasar suku, agama, juga termasuk ideologi politik. Selain pelabelan atas dasar agama, proses labelisasi atas dasar prasangka terhadap yang dianutnya juga terjadi. Seseorang diberi label “kristen”, “islam”, “buddha”, “hindu”, “kong hu cu” atau bahkan “ahmadiyah”. Politik pun disurutkan atas dasar pelabelan ini. Politisasi agama, yang konon didasarkan pada PNPS 1/1965, telah menciptakan label agama ‘diakui’ dan yang ‘tidak diakui’. Politisasi agama itu juga yang menjadi dasar pelabelan agama ‘benar’ dan ‘sesat.’ Celakanya, di saat terjadi politik labelisasi atas dasar agama yang memilah dan cenderung melakukan pembedaan terhadap manusia, agama justru tampil sebagai pemberi legitimasi. Labelisasi tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri.

Samuel Huntington, dalam Clash of Civilization-nya, mengingatkan bahwa politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara tendensius menjadi biang pencipta kekerasan di dunia. Pelabelan bukan cuma meredusir identitas seseorang tetapi bahkan menciptakan sekat-sekat dan prasangka-prasangka di antara umat manusia. Dunia yang luas ini pun seolah dipetak-petak dalam kotak yang sempit. Dan petak itu bukan sesuatu yang nyata, ia hanyalah sebuah kerangka abstrak dalam isi kepala, di luar dari pada bagian itu, kenyataannya akan selalu berbeda!

Akar-akar labelisasi atas dasar agama muncul dari cara orang memahami Tuhannya dan agamanya itu sendiri. Prasangka yang terjadi di antara manusia yang berbeda itu, memiliki akar kuat dari cara seseorang atau sekelompok memahami Tuhan yang disembahnya. Ketika Tuhan dipahami sebagai Tuhan suku (a tribal God) maka Tuhan selalu menjadi pemberi legitimasi terhadap prasangka dan, bahkan, konflik dengan mereka yang dianggap memiliki label berbeda. Tuhan pun dipersempit menjadi Allah penyelamat suku atau kelompok tertentu. Tuhan suku adalah Tuhan ciptaan manusia yang berpikiran sempit, karena itu Tuhan pun didefinisikan secara sempit (John Shelby Spong, dalam Yesus Bagi Orang Non Religius). Bagi Spong, manusia dan dunia ini tidak membutuhkan Tuhan yang “picik” seperti itu. Sebaliknya, manusia dan dunia ini membutuhkan Tuhan yang merangkul dan mencintai semua orang termasuk mereka yang berbeda, Tuhan yang siap merubuhkan tembok-tembok pembatas, membongkar kapling-kapling sempit yang ada dalam pikiran manusia.

Menurut Andre Dumas, labelisasi terjadi karena agama lebih dipahami sebagai pengikat (religare) daripada sebagai persekutuan (relegere). Sebagai pengikat, agama membentuk pengelompokan-pengelompokan yang berpotensi membangun keamanan diri dan pada sisi lain membentuk prasangka bahwa yang lain adalah musuhnya. Sebaliknya, sebagai persekutuan, agama justru menjadi kekuatan yang merangkul sang liyan berdasarkan cinta dan keterbukaan.

Seseorang yang dipenuhi cinta dan keterbukaan akan mampu menerima dan bahkan merangkul perbedaan, karena perbedaan adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pendewasaannya. Seorang yang mengalami kehadiran Tuhan tidak pernah takut oleh perbedaan dan tidak akan berjuang untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Sebaliknya, ia selalu menjadi sesama bagi siapa pun, termasuk terhadap mereka yang berbeda. Para nabi, seperti Muhammad dan Yesus, adalah mereka yang berjuang untuk kepentingan semua. Mereka adalah tokoh yang berhasil melewati rintangan label dan batasan yang diciptakan oleh ilusi manusia. Mereka mampu berdialog dengan siapa pun. Mereka bahkan siap menjadi pembela bagi siapa pun. Hidup dan perjuangan mereka selalu dikuasai oleh cinta dan keterbukaan. Mereka diikuti, dicintai, dan dihormati bukan karena kekerasan dan kebengisan tetapi oleh karena cinta dan keterbukaannya. Mereka membangun interaksi dan dialog yang berdasarkan kerendahan hatinya.

Tantangan plural yang nyata dalam kehidupan umat manusia pada masa kini adalah: Tanggalkan ilusi sempit dan prasangka terhadap yang lain. Manusia yang beragama harus belajar membuka diri seluas-luasnya, belajar menerima, dan menghargai mereka yang berbeda; Manusia yang beragama harus mampu menumbuhkan humanisme dan mampu menolak proses dehumanisasi yang terjadi karena politisasi agama.

October 07, 2008



Life without you is not life
but a nightmare
A nightmare that eats
my skin little by little
A nightmare that pricks
my soul until I feel no more
Life is not life, without you...