October 14, 2008

TANTANGAN REALISTIS DALAM KEHIDUPAN (AGAMA) PLURAL

“...politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara simultan menjadi biang pencipta kekerasan dan teror di seantero dunia...” (Samuel Huntington)

Proses labelisasi terhadap sesama akan selalu terjadi pada kehidupan manusia di planet ini. Labelisasi terjadi atas dasar suku, agama, juga termasuk ideologi politik. Selain pelabelan atas dasar agama, proses labelisasi atas dasar prasangka terhadap yang dianutnya juga terjadi. Seseorang diberi label “kristen”, “islam”, “buddha”, “hindu”, “kong hu cu” atau bahkan “ahmadiyah”. Politik pun disurutkan atas dasar pelabelan ini. Politisasi agama, yang konon didasarkan pada PNPS 1/1965, telah menciptakan label agama ‘diakui’ dan yang ‘tidak diakui’. Politisasi agama itu juga yang menjadi dasar pelabelan agama ‘benar’ dan ‘sesat.’ Celakanya, di saat terjadi politik labelisasi atas dasar agama yang memilah dan cenderung melakukan pembedaan terhadap manusia, agama justru tampil sebagai pemberi legitimasi. Labelisasi tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri.

Samuel Huntington, dalam Clash of Civilization-nya, mengingatkan bahwa politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara tendensius menjadi biang pencipta kekerasan di dunia. Pelabelan bukan cuma meredusir identitas seseorang tetapi bahkan menciptakan sekat-sekat dan prasangka-prasangka di antara umat manusia. Dunia yang luas ini pun seolah dipetak-petak dalam kotak yang sempit. Dan petak itu bukan sesuatu yang nyata, ia hanyalah sebuah kerangka abstrak dalam isi kepala, di luar dari pada bagian itu, kenyataannya akan selalu berbeda!

Akar-akar labelisasi atas dasar agama muncul dari cara orang memahami Tuhannya dan agamanya itu sendiri. Prasangka yang terjadi di antara manusia yang berbeda itu, memiliki akar kuat dari cara seseorang atau sekelompok memahami Tuhan yang disembahnya. Ketika Tuhan dipahami sebagai Tuhan suku (a tribal God) maka Tuhan selalu menjadi pemberi legitimasi terhadap prasangka dan, bahkan, konflik dengan mereka yang dianggap memiliki label berbeda. Tuhan pun dipersempit menjadi Allah penyelamat suku atau kelompok tertentu. Tuhan suku adalah Tuhan ciptaan manusia yang berpikiran sempit, karena itu Tuhan pun didefinisikan secara sempit (John Shelby Spong, dalam Yesus Bagi Orang Non Religius). Bagi Spong, manusia dan dunia ini tidak membutuhkan Tuhan yang “picik” seperti itu. Sebaliknya, manusia dan dunia ini membutuhkan Tuhan yang merangkul dan mencintai semua orang termasuk mereka yang berbeda, Tuhan yang siap merubuhkan tembok-tembok pembatas, membongkar kapling-kapling sempit yang ada dalam pikiran manusia.

Menurut Andre Dumas, labelisasi terjadi karena agama lebih dipahami sebagai pengikat (religare) daripada sebagai persekutuan (relegere). Sebagai pengikat, agama membentuk pengelompokan-pengelompokan yang berpotensi membangun keamanan diri dan pada sisi lain membentuk prasangka bahwa yang lain adalah musuhnya. Sebaliknya, sebagai persekutuan, agama justru menjadi kekuatan yang merangkul sang liyan berdasarkan cinta dan keterbukaan.

Seseorang yang dipenuhi cinta dan keterbukaan akan mampu menerima dan bahkan merangkul perbedaan, karena perbedaan adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pendewasaannya. Seorang yang mengalami kehadiran Tuhan tidak pernah takut oleh perbedaan dan tidak akan berjuang untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Sebaliknya, ia selalu menjadi sesama bagi siapa pun, termasuk terhadap mereka yang berbeda. Para nabi, seperti Muhammad dan Yesus, adalah mereka yang berjuang untuk kepentingan semua. Mereka adalah tokoh yang berhasil melewati rintangan label dan batasan yang diciptakan oleh ilusi manusia. Mereka mampu berdialog dengan siapa pun. Mereka bahkan siap menjadi pembela bagi siapa pun. Hidup dan perjuangan mereka selalu dikuasai oleh cinta dan keterbukaan. Mereka diikuti, dicintai, dan dihormati bukan karena kekerasan dan kebengisan tetapi oleh karena cinta dan keterbukaannya. Mereka membangun interaksi dan dialog yang berdasarkan kerendahan hatinya.

Tantangan plural yang nyata dalam kehidupan umat manusia pada masa kini adalah: Tanggalkan ilusi sempit dan prasangka terhadap yang lain. Manusia yang beragama harus belajar membuka diri seluas-luasnya, belajar menerima, dan menghargai mereka yang berbeda; Manusia yang beragama harus mampu menumbuhkan humanisme dan mampu menolak proses dehumanisasi yang terjadi karena politisasi agama.

No comments: