June 12, 2010

gak tau ini apa...

apapun, ...
kata-kata akhirnya membuka mata
terarah atau tidak terarah
ia bertujuan

ini, sebuah apologi di sore hari
memang terasa menyakitkan
bercumbu dengan angan-angan
hanya bisa menatap mentari

kata, pun dalam rangkaiannya
ia memiliki makna sendiri
berulang dan berulang terbaca
hingga terpahamkan sebuah arti

jika sebuah puisi terlalu membuat sakit
ada sesuatu di hatimu yang tak terungkap
terperangkap, seperti kata-kata itu jua
kata-kata memang rumit

tak semua kata-kata mendistorsi
serta terarah untuk mendistorsi
hanya ada padamu intrepretasi-intrepretasi
di luar pengertian-pengertian inti

hari ini, seperti hari hari terdahulu, kata-kataku terarah padamu
yang bergelimang mimpi-mimpi
entah bersama siapa, entah bersamaku
dalam distorsi-distorsi

tak bermaksud selalu menjadi biasa dengan usaha-usaha
menyakiti hati, membuta diri, menganyam airmata
pula, untuk menakar kekurangan dalam detak hari
ia ada dalam distorsi-distorsi

tak semua harus menjadi jelas
problematika selalu harus disisakan
agar pengetahuan tetap berputar
dan itu dinamika namanya

kita telah bosan berdialektika berdua, bukan?
karena kehendak penguasaan menjadi raja satu sama lain
pun di dirimu, pun di diriku
kita, butuh pembebasan, bukan penaklukan
karena penaklukan hanya menghasilkan tiran-tiran
yang akan tersenyum dalam nikmatnya orgasme pikiran
pun di diriku, pun di dirimu.

aku dan kata-kataku menjadi beban dalam dirimu
menambah sakit, dalam perih tubuh tiap hari
pun saat kau meringis, terasa hati teriris
tetapi tetap saja kesabaran berbatas
dalam distorsi-distorsi, yang disebabkan kata-kata
kata-kataku, kata-katamu

kata-kata mendistorsi tidak selalu mengarah
namun ia bertujuan
bukan padamu, bukan padaku, bukan pada mereka
distorsi ada di kepalamu, di kepalaku, di kepala mereka

sore ini, juga semoga esok, mentari tidak lagi pucat
hingar mulai berpendaran di telingga
kata-kata dan distorsi, sesuatu beda
kamu, aku, dan mereka harus paham
dialektika berhenti oleh dogma
dogma tercipta oleh keyakinan yang terlogika
logikaku, logikamu, logika mereka
tak pernah tentu
tentunya tak pernah sama

mungkin benar kata seorang kawan
setelah capek berkata-kata
setelah bosan berdialektika
terkadang kita hanya perlu
untuk tidak berbicara dan menikmati segelas kopi

aku cinta padamu,
sama seperti tahun yang terlampaui
dalam distorsi yang bergelombang dalam tiap harinya
dariku, darimu, dari mereka

sore ini, jika gelombangnya menyentuh titik terendah
atau titik tertinggi hingga telingga tidak lagi bisa
menerima sesuatu yang biasa bernada
haraplah kau maklum…
karena mungkin di suatu malam, di suatu pagi
pun di suatu siang tak tertentu
ia mencapai keseimbangannya
hingga yang kau, aku dan mereka tangkap
adalah nada merdu yang tidak dapat terlupakan

sore ini, jika kata-kataku mendistorsi ke arahmu
harap maklum, ia bertujuan pun berarah satu
aku hanya ingin mengatakan kejujuran
yang seperti biasa tidak dapat dengan mudah aku ungkapkan
jika aku kembali jatuh cinta
pada peradaban yang memungkinkan kebebasanku
untuk berkata-kata, tak selalu harus berbatas tembok yang tinggi

dalam galauku
dalam distorsi yang kuterima
aku menawarkan pembebasan atas nama cinta
dari dialektika
dari kata-kata
dari distorsi
dari kehendak penguasaan
atas nama cinta

karena elang selalu terbang sendiri
dan harimau akan memasuki hutan yang baru
karena elang akan mencari mangsa
dan harimau baru memulai pertarungan

elang dan harimau
tiada pernah berbarengan

pun bila asap-asap yang mengepul
di kejauhan
hanya bangkai yang kembali ke bumi
dalam belang, dalam bulu
yang terdistorsi oleh manusia
menjadi kenangan
menjadi sebuah fragmen dalam drama

aku cinta padamu
sama seperti masa lampau
atas namanya
aku tawarkan pembebasan
dari kehendak penguasaanku
yang hingar
yang bingar
yang mungkin mendistorsi
jauh dalam jiwamu

mari kita berhenti berdialektika
dengan alasan bosan...

June 11, 2010

..

sungguh tak ada garis tepi
sebagai penanda,
hanya ada perlambang ketakberhinggaan
ketika angin mencoba
menyibak misteri di ujung-ujungnya.

---
tidurlah, dengan dengkur yang sederhana,
kosmos telah melupakanmu.
tidurlah dengan mimpi yang tanpa arah, dengan lelap dalam sihir
orang-orang yang tak berdaya.
tidurlah dengan ambisi yang mati
kesabaran adalah mawar yang merambat,
lumut yang tak takluk karena salju.
tidurlah untuk malam yang tak terulang lagi.

April 22, 2010

....

Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan toleransi kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi.

Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu menjadi angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing.

```

January 24, 2010

Connie

Tubuh bisa membuat getar, tapi juga gentar, seperti lautan.

Saya ingat satu pasase dalam Lady Chatterley’s Lover: perempuan itu mengalami ajaibnya gairah dalam persetubuhan. Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri ”laut”. Ia deru dan debur, samudra dengan gelombang gemuruh yang tak kunjung putus. ”Ah, jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah….”

Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya ia rasakan kian lama kian dalam. Bertambah berat empasan, bertambah jauh pula ia jadi segara yang berguncang sampai di sebuah pantai. Baru di sini deru reda, laut lenyap. ”Ia hilang, ia tak ada, dan ia dilahirkan: seorang perempuan.”

Saya tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase ini. Di sini D.H. Lawrence sungguh piawai: ia uraikan suasana erotik dalam novelnya dalam kalimat dengan ritme yang naik-turun, membawa kita masuk ke paduan imaji-imaji yang, seperti gerak laut, tak putus-putus, berulang-ulang….

Agaknya Lawrence, seperti kita semua, harus mengerahkan seluruh kemampuan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang tak mungkin tergambarkan: pengalaman tubuh ketika kata belum siap, gejolak zat-zat badan ketika bahasa belum menemukan pikiran.

Seorang sastrawan memang selalu dirundung oleh bahasa yang ingin ekspresif tapi juga ingin komunikatif—dua dorongan yang sebenarnya bertolak belakang. Yang pertama dituntut untuk mengungkapkan langsung apa yang berkecamuk di lubuk kesadaran, yang tak selamanya jelas dan urut. Yang kedua diminta agar berarti: sesuai dengan kesepakatan sosial dan membawa hasil.

Lawrence mampu menggabung kedua dorongan itu di bagian yang dikutip tadi, tapi bagi saya sebagai novel Lady Chatterley’s Lover terasa lebih digerakkan keinginan untuk menyatakan sebuah pendirian. Kalimatnya lebih komunikatif ketimbang ekspresif. Pertautannya dengan bahasa (untuk tak menyebut ketaatannya pada pesan dan tema) berbeda dengan misalnya Cala Ibi Nukila Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge, dua novel yang, dengan bahasa yang puitik, tak hendak mengubah pandangan kita tentang hal-ihwal.

Lady Chatterley’s Lover memang sebuah kritik sosial; ia hendak meyakinkan kita tentang muramnya masyarakat Inggris sehabis perang pada 1920-an. ”Zaman kita pada hakikatnya zaman yang tragis, maka kita menolak untuk menyikapinya dengan tragis,” begitulah novel ini dimulai. ”Kita ada di tengah puing, kita mulai membangun habitat baru kecil-kecilan, untuk mendapatkan harap baru sedikit-sedikit.”

Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masyarakat terjebak lapisan-lapisan kelas, dan industrialisasi yang mulai merasuk, juga peran uang, membuatnya lebih buruk.

Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley. Ia kawin dengan Sir Clifford, tuan tanah dan bangsawan pemilik tambang. Lelaki ini luka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh, juga impoten, dan hanya menunjukkan kelebihannya bila ia mulai memimpin bisnisnya. Tampaknya perang, industrialisasi, kapitalisme—dan patriarki—menebarkan racunnya dan membuat hidup perempuan itu, Lady Constance (”Connie”), terpojok. Kesepian, bosan, hampa, dan tertindas, ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup sebagai perempuan ketika ia disetubuhi Melleors, game keeper Sir Clifford, lelaki yang tinggal menyendiri di sebuah gubuk di tanah luas itu, mengurusi burung-burung yang esok pagi akan dilepaskan terbang untuk jadi sasaran tembak sang majikan.

Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Ia memang menghendaki seorang anak, meskipun percintaannya dengan lelaki kelas bawah itu bukan dimaksudkannya hanya untuk beroleh keturunan. ”Aku bukan hendak memperalatmu,” bisiknya di tempat tidur. Mereka saling mencintai. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifford, tapi ditampik. Kisah ini selesai seperti tak selesai: Connie dan Melleors menanti.

Agaknya apa selanjutnya tak penting lagi: protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan perbuatan, dan tak seorang pun dihukum. ”Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan, bukan salah seks,” begitulah novel ini bicara. ”Kesalahan itu di sana, di luar sana, dalam sinar keji cahaya listrik dan gemeretak iblis mesin-mesin. Di sana, di dunia di mana kerakusan bergerak seperti mesin… dan kerakusan menghasilkan mesin… di sanalah terhampar mala yang luas itu, siap untuk menghancurkan apa saja yang tak mau menyesuaikan diri. Ia akan segera menghancurkan hutan, dan bunga kecubung ini tak akan bersemi lagi.”

Dibaca pada awal abad ke-21, protes seperti ini—ketika yang erotik, yang lemah, dan yang halus dalam diri manusia diancam dunia modern—tak mengejutkan lagi. Bahkan bahasa Lawrence juga segaris dengan kehendak dunia modern yang ditentangnya, yang serba mengutamakan pikiran dan hasil, bukan persentuhan yang melibatkan tubuh dalam pengalaman. Tapi juga ketika dibaca pada awal abad ke-20: Lady Chatterley’s Lover hanya dianggap karya pornografis. Ditolak di mana-mana, pada 1928, hanya seorang penerbit Italia yang menerimanya; ia tak begitu paham bahasa Inggris.

Dengan segera novel ini laris dan dikejar-kejar. Yang paling ramai di AS, dengan warisan puritanisme Kristen yang awet dan semangat kapitalisme yang, seperti digambarkan Lawrence, ”rakus… seperti mesin” itu, yang melihat tubuh perlu berdisiplin baja dan gairah seks sebagai ”dosa”, yakni energi yang tak produktif.

Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterley’s Lover pun dibui, kantor pos menolak mengirimkan novel itu, dan Presiden Eisenhower menganggapnya bacaan yang ”dreadful”. Baru pada akhir 1950-an pengadilan menganggap karya itu tak pornografis.

Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunisme, yang rezim-rezimnya melarang Lady Chatterley’s Lover? Tidak. Bagi mereka, tubuh kita hanya penting sepanjang bisa dibuat berguna bagi yang mahakuasa, apa pun namanya.[]

.....

…kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa, pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir. Kematian dengan demikian diberi tafsiran bukan sebagai lawan dari kehidupan, melainkan kelanjutannya. Di ujung sana Tuhan lebih tahu…