December 28, 2009

Sekuler

Sebuah negeri mustahil berhenti menjadi plural tanpa pembunuhan. Terutama di awal abad ke-21. Persoalan yang kemudian dihadapi adalah apa artinya ”plural”, dan apa gerangan pula arti ”sebuah negeri”.

Jawabannya bukannya tak ada. Di Amerika Serikat dan Inggris, ”plural” berarti ”multikultural”. Majemuk berarti menghormati dan menjaga perbedaan adat-istiadat pelbagai paguyuban yang ada dalam negeri itu. Majemuk berarti tidak mengasimilasikan penduduk atau warga negara ke dalam satu kesatuan identitas yang baru setelah yang lama dilupakan.

Dalam pandangan ini, ”asimilasi” membuat bulu kuduk berdiri, seakan-akan sebuah penindasan, ketika akar-akar budaya seseorang dibabat dan pelbagai manusia dilebur ke dalam sebuah panci, untuk membentuk sebuah kebersamaan baru yang utuh dan sama rata sama rasa—sebuah keseragaman yang represif. Namun, pandangan multikulturalisme ini hanya salah satu jawaban bagi persoalan-persoalan kemajemukan di abad ke-21.

Salah satu persoalan pernah muncul dari pertikaian antara semangat yang menyambut hangat perbedaan dan pengertian ”perbedaan” itu sendiri. Saya ambil sebuah jawaban dari Prancis.

Di pertengahan Oktober 1989, tiga potong kain kepala mengguncang republik itu. Kepala Sekolah Collège de Creil di Osie memutuskan untuk mengeluarkan tiga gadis yang memakai jilbab dari sekolah. Para guru mendukung keputusan itu. Bagi mereka, yang hendak dipertahankan adalah ide tentang ”Prancis”, yang lahir sejak Revolusi 1789, persis 200 tahun sebelum insiden kerudung itu—yakni sebuah Prancis yang sekuler, yang menganggap pemisahan agama dari wilayah publik merupakan pembebasan, yang juga menghendaki persatuan dan kesatuan yang kuat, sehingga perbedaan budaya harus dilarutkan dalam asimilasi. ”Sekolah ini Prancis,” ujar si kepala sekolah, ”Ia terletak di Kota Creil, dan sifatnya sekuler. Kita tak akan membiarkan diri kita direcoki soal-soal agama.”

Tapi dia ditentang ramai-ramai. Bagi para aktivis yang memperjuangkan persamaan hak antara kelompok dalam masyarakat, tindakan kepala sekolah itu diwarnai keras oleh sikap melecehkan minoritas Islam di Prancis. Bagi kalangan agama, tindakan si kepala sekolah merupakan contoh semangat sekularisme yang militan dan sewenang-wenang. Kardinal Lustiger, Uskup Agung Paris, berseru: ”Janganlah kita berperang melawan anak-anak itu!” Juru bicara Federasi Protestan juga mengatakan: ”Kalangan Protestan menganggap tak ada alasan untuk melarang jilbab di sekolah,” dan ia memperingatkan agar Prancis bangun dari mimpinya untuk memerangi agama. Tokoh rohaniwan Yahudi Kota Paris bicara lebih tegas lagi bahwa ”mereka yang melarang anak-anak muslim memakai jilbab itu… menampakkan tidak adanya toleransi di kalangan mereka.”

Tapi kemudian soalnya: di mana toleransi berhenti dan di mana kebebasan mulai. Misalnya sebuah komunitas, sesuai dengan adat-istiadatnya, mengharuskan seorang janda untuk ikut mati bersama suaminya yang meninggal, dan komunitas itu hidup bersama dengan beberapa komunitas lain yang menentang sangat aturan itu, sebab yang tampak di sini adalah ketidakbebasan perempuan. Atau, misalnya sebuah komunitas dalam sebuah negeri, dengan segala nilainya, menghukum rajam seorang perempuan penzina, sementara negeri tempat komunitas itu hidup menentang hukuman mati. Tidakkah dengan demikian sebuah masyarakat yang multikultural merupakan sebuah masyarakat yang saling bertentangan, atas nama ”pluralisme”? Akhirnya kita pun tak tahu, benarkah kata ”sebuah negeri” masih bisa berlaku dalam kasus itu.

Sejarawan Pierre Birnbaum merekam dan membahas perdebatan serius ini dalam La France Imaginée (dalam versi bahasa Inggrisnya: The Idea of France), dan dari uraiannya kita bisa menemukan persoalan yang menuntut renungan: ”multikulturalisme” menyambut perbedaan dan keragaman ”budaya”, tetapi belum jelas benarkah makna ”budaya” berarti sesuatu yang berhenti dan tunggal, dan juga tertutup, seperti anjungan rumah daerah di Taman Mini, sehingga seseorang terjerat di sana, tak bisa ”lain”, tak bisa berpindah?

Lima orang cendekiawan Prancis membela pemikiran di balik keputusan si kepala sekolah mengenai jilbab, dan mereka menulis sepucuk surat terbuka. ”Hak untuk berbeda,” tulis mereka, ”harus diimbangi oleh hak untuk berbeda dari perbedaan dirinya.” Kalau tidak, itu berarti perbudakan oleh identitas: seorang anak terus-menerus diidentikkan dengan ayahnya, selalu diingatkan tentang kondisinya, terikat kepada ”akar”nya.

Yang hendak ditekankan di sini adalah ”universalisme”. Pengertian bahwa manusia itu satu hakikat, di mana saja dan kapan saja, tidak boleh berakhir. Ia tak boleh digantikan oleh ”komunitarianisme” yang melecut terus-menerus politik identitas. Bagi para cendekiawan Prancis ini, multikulturalisme ala Amerika mengambil jalan yang salah—mungkin seperti orang Indonesia memandang multikulturalisme di Malaysia dengan cemas, sebab pada akhirnya di sana yang terjadi adalah berakhirnya ”universalisme”.

Dan ketika tak ada lagi apa yang bisa dianggap universal pada manusia, dan tatkala yang dianggap ada hanyalah beda, maka dengan gampang komunitas-komunitas itu pun saling menutup pintu. Dengan gampang pula ada semangat untuk memurnikan diri, membersihkan dari segala campuran asing atau luar, semakin lama semakin keras, semakin lama semakin mengurung. Akhirnya: fundamentalisme.

Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.

October 19, 2009

Mengapa Banyak Ilmu Kita Yang Menghilang?

Jika anda termasuk orang yang suka mengumpulkan sertifikat dan ijasah, sekali waktu coba perhatikan berapa banyak jumlah sertifikat yang anda miliki itu. Kemudian, perhatikan kembali sertifikat itu satu demi satu, sambil mengingat kembali event apa yang anda ikuti sehingga anda berhak mendapatkan sertifikatnya. Selanjutnya, coba ingat-ingat kembali; topik, ilmu atau keterampilan apa yang anda pelajari dalam event itu. Lalu, tanyakan kepada diri sendiri; berapa banyak ilmu atau keterampilan itu yang masih anda miliki hingga saat ini? Jika anda masih mengingat keseluruhan ilmu yang diwakili oleh sertifikat itu, anda termasuk orang istimewa. Sebab, kebanyakan orang hanya memiliki sertifikatnya saja, namun sudah tidak lagi memiliki ilmunya. Mengapa bisa demikian?

Di komplek perumahan yang saya tinggali terdapat beberapa unit rumah kosong. Kata orang, rumah-rumah tersebut sudah belasan tahun tidak ditinggali. Dulu, rumah-rumah itu tampak cantik dan tertata rapi. Namun setelah ditinggalkan, debu-debu yang dibiarkan lama kelamaan menyebabkan menempelnya segala kotoran. Lantas, hujan dan panas yang datang silih berganti menyebabkan kayu-kayu rumah itu menjadi lapuk. Sekarang, bahkan atapnya nyaris ambruk. Semua jendelanya hancur, pintu dan kusen-kusen tak lagi berujud. Beda sekali dengan rumah-rumah lain disekitarnya yang terus dihuni. Meskipun umurnya sama tak muda, namun, rumah-rumah berpenghuni tampak tetap indah tak kurang suatu apapun.

Saya menjadi teringat akan frase ’use it, or loose it’. Rumah kita akan lebih cepat hancur jika tidak digunakan. Hey, bukankah pepatah itu biasa kita gunakan untuk otak kita? The brain; use it, or loose it. Kita hanya memiliki dua opsi atas otak kita; (1) Menggunakannya, atau (2) Kehilangannya. Memang, kita tidak secara signifikan kehilangan ukuran fisik otak, namun mungkin kita kehilangan ’isinya’. Ukuran otak kita boleh saja besar. Dan kedalam otak yang besar itu boleh saja kita sudah memasukkan segala macam ilmu dan pengetahuan. Dan sebagai bukti bahwa kita pernah memasukkan banyak hal kedalam otak itu, kita memiliki sertifikatnya. Namun, ketika segala sesuatu yang sudah kita masukkan kedalam otak itu terlalu lama tidak digunakan, mungkin akan lenyap juga.

Sekarang, mari kita bahas 3 kemiripan rumah kosong tadi dengan ilmu pengetahuan kita. Pertama, sertifikat diklat identik dengan sertifikat kepemilikan properti. Kedua, tanah tempat rumah itu dibangun identik dengan otak tempat kita menyimpan ilmu pengetahuan. Ketiga, rumah yang dibangun ditanah itu identik dengan ilmu yang disimpan dalam otak kita.

Meskipun rumah itu tidak digunakan, sang pemilik rumah tidak serta merta kehilangan sertifikatnya. Dia tetap memiliki sertifikat itu. Sama dengan kita. Meskipun kita tidak menggunakan ilmu pengetahuan itu, namun kita masih memiliki sertifikatnya. Ukuran tanah rumah-rumah itu tidak berkurang. Mungkin ukuran otak kita juga tidak berkurang. Namun, rumah yang dibiarkan kosong itu kini nyaris tidak berbentuk lagi, hingga lebih cocok disebut ’reruntuhan’. Boleh jadi, ilmu pengetahuan kita yang bersertifikat itu pun kini tinggal ’reruntuhan’ karena sudah terlalu lama tidak digunakan.

Bayangkan jika sang pemilik rumah kosong tadi membeli properti dimana-mana. Mengumpulkan sertifikatnya. Lalu membiarkan semua properti yang sudah dibelinya tidak digunakan. Sekarang, bayangkan perusahaan memiliki komitment untuk mengirim kita mengikuti diklat ini dan itu, hingga mendapatkan banyak sertifikat. Namun, kita seperti sang pemilik rumah yang tidak menggunakan rumah-rumah yang telah dibelinya tadi. Boleh jadi, itulah sebabnya; mengapa banyak ilmu kita yang menghilang. Meskipun kita masih menyimpan sertifikatnya dalam map dan figura-figura yang indah; namun. Kita sudah tidak lagi memiliki ilmunya.

Tentang Hidup

“My mom said that life is like a box of chocolate,
you’ll never know what you gonna get”
-- anyn.


Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita akan alami dalam hidup. Kala kita disuguhi sebuah kotak coklat, apa yang kita rasakan? Senangkah? Atau penuh rasa curiga, jangan-jangan kotak ini berisi racun?

Kesenangan dalam hidup, mungkin itu sebuah pernikahan, kelahiran, lulus ujian, dapat kita analogikan seperti coklat tersebut.
Kesenangan selalu identik dengan manis. Manisnya hidup adalah dambaan dari setiap orang.

Tidak setiap orang mendapatkan sekotak coklat, bahkan ditawari pun tidak. Ada juga yang berusaha mencuri kotak coklat demi menggapai impian untuk mencicipi manisnya. Tetapi, setelah mendapatkan kotak, membuka dan merasakan coklat, tidak sedikit orang yang kemudian membuangnya ke tempat sampah. Ada juga yang hanya tersenyum getir mendapati rasa coklat yang jauh dari apa yang dibayangkan.

Begitulah hidup. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita peroleh. Hidup itu hanyalah fragmen-fragmen yang harus kita jalani setiap detiknya. Detik ini kita merasa senang, mungkin detik berikutnya sedih lah yang kita terima. Kita hanya mampu menjalani hidup apa adanya. Being pragmatist, mungkin bisa menjadi solusi dalam menjalani hidup.

Apa yang kita alami di masa lalu belum tentu lebih buruk dari apa yang kita hadapi sekarang. Belum tentu juga lebih indah dari yang kita miliki saat ini. Hanya dua yang kita bisa lakukan, sabar di kala susah dan syukur di kala senang. Atau cukup satu saja, senang di kala apa pun, sebuah tingkatan yang sulit untuk dijangkau oleh kita sebagai manusia biasa...

October 11, 2009

Lihatlah Kebaikan Orang Lain

Anjuran ini sama sekali tidak bermaksud agar kita selalu menyenangkan orang lain, karena sebenarnya kita takkan mampu melakukan hal itu. Namun agar hidup kita lebih produktif, lebih efektif, dan lebih ringan.

Bila semua orang senang mencari-cari sisi buruk orang lain, maka dunia akan penuh dengan kebingungan.
Kita akan berhadapan dengan puluhan nasehat, ratusan saran bahkan ribuan caci-maki.

Hal ini berlaku pula pada diri kita. Selalu melihat keburukan orang lain, membuat hidup menjadi kusam. Sedangkan dengan melihat kebaikan orang lain, hidup menjadi menyenangkan. Kita akan mempunyai lebih banyak waktu untuk menikmatinya.

Kulit jeruk terasa pahit. Sedangkan isi jeruk terasa manis menyegarkan. Bukankah kita belajar dari alam?
Kita mengupas dan menyingkirkan kulit jeruk yang pahit untuk mereguk kesegaran buah jeruk. Bila kita tak menyukai keburukan, maka singkirkan.

Kita mencari kebaikan, maka carilah... dan temukan itu pada setiap orang yang hadir dalam hidup ini.

...

Aku adalah kapal kokoh yang sanggup menahan beban, terbuat dari kayu terbaik, dengan layar gagah menentang angin. Kesejatianku adalah berlayar mengarungi samudra, menembus badai dan menemukan pantai harapan. Sehebat apapun kapal diciptakan, tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga. Dermaga adalah masa lalu. Tali penambat itu adalah ketakutan dan penyesalan.

Tak akan ku buang percuma seluruh daya kekuatan yang dianugerahkan.
Tak akan kubiarkan masa lalu menambat kita di situ. Akan kulepaskan diri dari ketakutan dan penyesalan.
Berlayar...

Yang memisahkan kapal dengan pantai harapan adalah topan badai, gelombang dan batu karang.
Yang memisahkan aku dengan keberhasilan adalah masalah yang menantang. Di situlah tanda kesejatian teruji. Hakikatnya kapal adalah berlayar menembus segala rintangan.
Hakikat diri adalah berkarya menemukan kebahagiaan bersama pantai harapan, dan pantai harapan itu adalah kamu...
...
Mengapa Berteriak?

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab;
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan. Sang guru lalu berkata; "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.

Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas.

Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya.
Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan; "Ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu mu."

July 25, 2009

Do you think of me?

Do you think of me… as I have thought of you?

A song… a flower… a place… a restaurant and it brings memories of you. I wonder, do you think of me, in the silence of the night?

Childrens laughter… a mothers smile… an ocean front at sunrise…
all of it…memories of you.
As I think of you… do you… have you… thought of me?

A rose in bloom… the music of the night… a gentle rain, all of it… you.
As the thought of you, touches my soul…
I wonder… do you feel me… as I feel you?

A bird in flight… the dawning of a new day… the loneliness of night…
each and every moment… it’s you…you…you.
Tell me… do you think of me? Do you love me… as I love you?

The gentle words… the music we loved… the places we went…
all of it… forever you. The thoughts return, again and again.
Do you feel the same?

A starlit night… a moon so bright… the love we knew,
I am there… are you?

Always… forever… all of it… you.
Come… rescue me with your love.
Tell me… that you have thought of me…

as I have thought of you.

July 02, 2009

Lawan Pemanasan Global Dengan Panen Hujan

Tak pelak, telinga kita selalu diperdengarkan oleh istilah global warming (pemanasan global), isu-isu kerusakan lingkungan, bencana alam yang dikaitkan dengannya, dan krisis air salah satunya.

Paradigma kita (saya dan anda, termasuk pemerintah tentunya) yang menjadi pelanggan setia banjir harus diubah. Dari berbagai upaya: kebijakan dan pelaksanaannya yang mengalokasi dana sampai dengan mengerahkan teknik rekayasa pembangunan fisik, lebih dilatari oleh cara berfikir yang memusuhi alam, tak satupun yang menyapa air hujan! Penyebab banjir yang utama adalah minimnya resapan air bagi curah hujan yang tinggi. Anomali utama air adalah mengalir ke tempat yang lebih rendah melalui celah muka tanah dan sungai dengan area cakupannya. Sebagian lainnya tersimpan dalam situ, rawa, atau langsung meresap ke dalam tanah. Situ, rawa, celah-celah muka tanah? Situ mengalami pendangkalan atau diuruk, rawa ‘tempat jin buang anak’ menjadi kawasan perumahan, bahkan pedestrian koridor utama ibukota kita pun tak diperkeras dengan paving block yang bercelah. Konversi ketiganya menjadi lingkungan binaan menyebabkan air lebih suka menggenang tanpa muara.

Akibatnya, seperti yang selalu tiap tahun kita alami, debit air hujan yang mengalir ke dalam selokan semakin melimpah tak mampu ditampung olehnya dan sungai-sungai kita sehingga menggenang dan banjir melanda. Bila sudah demikian, pemerintah menjadi pihak yang menanggulangi atau mengendalikan banjir, sedangkan saya dan anda sebagai warga kotanya lebih memilih menderita sebagai korban banjir. Lalu mengapa kita tidak bersama-sama untuk menjinakkan curahan air hujan? Mengatasi kejadian alam dengan cara memanen hujan sebelum banjir? Toh, semua air mineral bermerk yang setiap waktu kita membutuhkannya berasal dari air hujan.

Saat ini persaingan penggunaan air makin terasa karena adanya peningkatan kebutuhan air untuk berbagai sektor. Kebutuhan air pada sektor pertanian memegang porsi paling besar yaitu 79% dari total kebutuhan air, untuk sektor lain seperti domestik mencapai 11%, industri 5%, dan perkotaan 5%. Pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi peningkatan kebutuhan air untuk keperluan domestik mencapai 17%, sementara untuk sektor perkotaan meningkat mencapai 10% yang membawa konsekuensi penurunan porsi air untuk sektor lain. Keadaan akan semakin sulit karena terjadi distribusi air yang tidak merata akibat kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan menurunnya daya tampung air terutama di musim kemarau. Menurunnya kapasitas lahan dalam menyimpan air mengakibatkan hujan yang turun sebagian besar ditransfer menjadi aliran permukaan dan hanya sedikit sekali yang mengisi cadangan air tanah. Indikatornya terlihat dari karakteristik debit puncak yang tinggi dengan waktu respon DAS yang singkat, yang dapat mengakibatkan resiko banjir di hilir, sementara pada musim kemarau sebagian besar penduduk merasakan kesulitan air.

Perkembangan Kota Selaras Tuntutan Alam
Pada kasus Jakarta, langkah surut yang semestinya untuk dilakukan adalah penyesuaian perkembangan kota dengan karakter air hujan di wialayhnya dan di wilayah penyangganya (Bogor, Puncak, dan Cianjur atau Bopunjur). Secara geografis, Jakarta terletak di bagian yang terendah dari wilayah ketiganya, mestinya pengembangan kota diutamakan untuk menyambut cerianya air hujan dari Bopunjur karena air mengalir ke Jakarta yang lebih rendah. Perkerasan pedestrian atau trotoar yang ditutup semen diganti dengan paving block berlubang atau pemasangannya yang renggang, agar air meesap ke tanah. Kawasan tampungan air hujan alami seperti situ, rawa, areal pertanian kawasan perkotaan, atau taman-taman terbuka hijau juga harus dikembalikan fungsinya. Tak kalah pentingnya adalah, membebaskan bantaran sungai-sungai di Jakarta bagi kepentingan luberan airnya (catchment area) di kala curah hujan sedang tinggi.

Pada lingkup yang lebih kecil di tingkat rumah tangga, memanfaatkan curahan air hujan dengan menampungnya pada tanki, sumur resapan, dam bawah tanah, atau mengganti perkerasan semen di halaman rumah dengan rumput atau paving block adalah tindakan yang ramah pada air hujan. Setelah air hujan ditampung, dapat dilakukan pengelolaan penggunaannya sebagai air baku minum atau air bersih bagi keperluan sehari-hari. Peningkatan nilai guna dari air hujan agar berdaya guna memang sangat penting untuk dilakukan, agar limpasan air hujan yang selama ini ‘mengganggu’ dapat memberikan hasil guna yang optimal kehidupan kita.

Memanen Air Hujan
Memanen air hujan atau rainwater harvesting merupakan suatu cara menampung air pada musim hujan untuk dapat dipergunakan pada saat musim kemarau. Secara sederhana panen hujan telah dilakukan masyarakat Lembah Indus (India). Brazil atau Provinsi Gansu, di China memiliki kebijakan dalam memanen air hujan lewat atap-atap rumahnya, atau Toronto Kanada dan New Zealand telah memanen air hujan lewat atap-atap rumahnya, baik di kota besar atau kota kecilnya. Intinya, memanfaatkan air hujan dapat dilakukan dengan memanen atau menampung air hujan dari atap rumah, untuk dimanfaatkan bagi keperluan air minum dan rumah tangga.
Sistem panen hujan untuk keperluan rumah tangga dengan menampung aliran air dari atap rumah dapat mempergunakan berbagai jenis bak penampung yang sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Bentuk penampung air dapat berupa penampung air di atas (tank) maupun di bawah permukaan tanah (dam atau reservoir). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan bangunan penampung air yaitu:
a. jumlah penampung yang diperlukan,
b. jenis dan ukuran daerah tangkapan (catchment area),
c. jumlah curah hujan/tahun,
d. jenis tanah,
e. ketersediaan dana,
f. kemampuan teknis dan pengalaman, dan
g. ketersediaan sumberdaya air.

Potensi jumlah air hujan yang dapat dipanen (the rainwater harvesting potential) dapat diketahui melalui perhitungan secara sederhana, sebagai berikut: Jumlah air yang dapat dipanen = luas area x curah hujan x koefisien runoff. Sebagai ilustrasi, untuk suatu areal tangkapan hujan dengan luas 200m², curah hujan 500mm/tahun, dan dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen, maka volume air hujan yang dapat dipanen adalah 80.000liter/tahun.


Untuk luas penampung air dapat ditentukan berdasarkan konsumsi air harian/orang, jumlah orang dalam satu rumah tangga, dan rata-rata musim kemarau terlama. Sebagai contoh, untuk memenuhi kebutuhan sebuah rumah tangga dengan anggota keluarga 5 orang, konsumsi airnya 20liter/hari/orang, dan musim kemarau terpanjang selama 100 hari, secara sederhana dapat dihitung: 20 x 5 x 100 = 10.000 liter atau 10m³. Namun demikian di daerah dengan curah hujan rendah dan tidak menentu diperlukan penetapan kapasitas tampung yang lebih teliti. Tempat penampungan juga selayaknya dapat menampung air pada musim hujan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau.

Sepertinya, tak pelak pula bila kita membiasakan mengucapkan istilah rainwater harvesting dan melaksanakannya dalam habitasi lingkungan binaan dan alami kota kita ini. Semua harus dilakukan sekarang, karena waktu tak pernah berhenti bergulir menuju krisis air bersamaan dengan global warming. Upaya penanaman berjuta-juta batang pohon sangat baik, jika dibarengi dengan upaya memanen hujan, menyimpan, mengolah, dan mendistribusikannya untuk berbagai keperluan selama krisis. Krisis yang akan disebabkan oleh langkanya air atau harganya yang makin mahal, siapa yang tahu? Saya, anda, dan pemerintah kota mestinya mampu menyediakan payung sebelum turun hujan kan??

March 05, 2009

Melihat Dari Sisi Lain

Mengubah cara pandang memang akan memberikan angle yang berbeda saat kita melihat hal yang sama. Dan karena kita melihatnya dari sudut yang lain, kadang permasalahan yang sebelumnya kita pikir susah dan rumit, tiba-tiba jadi lebih mudah. Tapi sebenarnya apa sih cara pandang itu, dan gimana cara kita merubahnya?

State of Mind

Dalam bahasa Inggris, cara pandang ini bisa dianggap sebagai state of mind, yang berarti adalah posisi dan kondisi otak dan pikiran kita terhadap sesuatu hal. Karena besar dipengaruhi oleh otak, sang penggerak pikiran, makanya state of mind kita jadi sangat berpengaruh dalam cara kita memandang suatu benda atau suatu hal, dan pada akhirnya berperan besar dalam penilaian dan cara pikir kita.
Menurut Mike King, salah satu penulis di situs www.learnthis.ca dalam artikelnya yang berjudul “A Guide To Mastering Your State of Mind”, dengan menguasai pola pikir dan cara pandang, kita bisa mengatur diri kita untuk merasakan apapun juga sesuai dengan keinginan. Contohnya, saat kita diputusin pacar. Kalau kita berpikir bahwa kita adalah orang paling malang sedunia, maka seluruh gerak-gerik dan perasaan kita akan melakukan hal yang sama, yaitu sedih, sengsara, bermuram durja, dan rasa sakit hati lainnya.
Tapi kalau kita mengubah cara pandang kita dengan berpikir bahwa diputusin pacar adalah sesuatu yang positif, bahwa itulah yang terbaik agar kita bisa bebas menjadi diri sendiri lagi, maka nggak masalah tuh putus cinta! “Sakit hati? Sakit hati yang mana?” begitu isi pikiran kita saat kita berhasil mengubah cara pandang.

Believe and See
Sayangnya, mengganti cara pandang nggak segampang mengganti baju yang bisa kita lakukan begitu saja. Untuk bisa merubahnya, kita harus bisa melihatnya dari sisi yang berbeda, dan kita harus percaya pada perbedaan itu. Nah, untuk mendapatkan sugesti tadi, kita harus bisa mengendalikan perasaan dan pikiran sesuai dengan kemauan kita. Kalau kita berhasil, kita bisa memandang benda apapun menjadi hal yang kita inginkan. Intinya, believe then you'll see. Kalau kita percaya pada suatu hal, maka kita akan bisa “melihat” hal tersebut.
Saat diberi tugas kelompok yang itu lagi-itu lagi normalnya kita akan berpikir, “Aduuuh, kok gue lagi, sih?” Nah, sekarang gimana kalau kita “memanipulasi” cara pandang itu dengan berpikir kalau kita percaya dengan batapa gampangnya tugas ini (karena kita sudah sering melakukannya), maka kita bisa melihat tugas tersebut dengan cara yang berbeda, dan akan melakukannya dengan semangat.

Caranya?
Kita belajar mengendalikan otak kita, yuk! Untuk bisa mengubah pola pikir kita, sebelumnya yang harus kita lakukan adalah mengatur perasaan kita, dan berusaha mengingat apa yang kita rasakan saat sedang mengalami state atau kondisi tertentu. Semua ini dilakukan agar kita bisa mendapatkan sugesti yang kita butuhkan tadi. Caranya:
1. Tentukan dulu perasaan apa yang ingin kita rasakan lagi. Biasanya sih kita akan memilih perasaan-perasaan yang menyenangkan seperti bahagia, tenang, atau damai. Misalnya, saat lagi kesal sama pacar, kita ingin mengubah pikiran kita agar kembali sayang sama dia.
2. Setelah kita tahu perasaan itu, coba ingat-ingat lagi saat kita mengalami perasaan itu, lengkap dengan detailnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Harry Potter saat dia memerlukan pikiran bahagia untuk mengeluarkan mantra Patronus-nya.
3. Lalu visualisasikan kondisi kita saat merasakan perasaan itu. Mulai dengan membayangkan warna-warna, benda-benda hingga suara-suara yang kita dengar dalam moment tadi. Usahakan agar kita bisa mendapatkan bentuk audio-visual serinci mungkin dari moment tersebut.