July 02, 2009

Lawan Pemanasan Global Dengan Panen Hujan

Tak pelak, telinga kita selalu diperdengarkan oleh istilah global warming (pemanasan global), isu-isu kerusakan lingkungan, bencana alam yang dikaitkan dengannya, dan krisis air salah satunya.

Paradigma kita (saya dan anda, termasuk pemerintah tentunya) yang menjadi pelanggan setia banjir harus diubah. Dari berbagai upaya: kebijakan dan pelaksanaannya yang mengalokasi dana sampai dengan mengerahkan teknik rekayasa pembangunan fisik, lebih dilatari oleh cara berfikir yang memusuhi alam, tak satupun yang menyapa air hujan! Penyebab banjir yang utama adalah minimnya resapan air bagi curah hujan yang tinggi. Anomali utama air adalah mengalir ke tempat yang lebih rendah melalui celah muka tanah dan sungai dengan area cakupannya. Sebagian lainnya tersimpan dalam situ, rawa, atau langsung meresap ke dalam tanah. Situ, rawa, celah-celah muka tanah? Situ mengalami pendangkalan atau diuruk, rawa ‘tempat jin buang anak’ menjadi kawasan perumahan, bahkan pedestrian koridor utama ibukota kita pun tak diperkeras dengan paving block yang bercelah. Konversi ketiganya menjadi lingkungan binaan menyebabkan air lebih suka menggenang tanpa muara.

Akibatnya, seperti yang selalu tiap tahun kita alami, debit air hujan yang mengalir ke dalam selokan semakin melimpah tak mampu ditampung olehnya dan sungai-sungai kita sehingga menggenang dan banjir melanda. Bila sudah demikian, pemerintah menjadi pihak yang menanggulangi atau mengendalikan banjir, sedangkan saya dan anda sebagai warga kotanya lebih memilih menderita sebagai korban banjir. Lalu mengapa kita tidak bersama-sama untuk menjinakkan curahan air hujan? Mengatasi kejadian alam dengan cara memanen hujan sebelum banjir? Toh, semua air mineral bermerk yang setiap waktu kita membutuhkannya berasal dari air hujan.

Saat ini persaingan penggunaan air makin terasa karena adanya peningkatan kebutuhan air untuk berbagai sektor. Kebutuhan air pada sektor pertanian memegang porsi paling besar yaitu 79% dari total kebutuhan air, untuk sektor lain seperti domestik mencapai 11%, industri 5%, dan perkotaan 5%. Pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi peningkatan kebutuhan air untuk keperluan domestik mencapai 17%, sementara untuk sektor perkotaan meningkat mencapai 10% yang membawa konsekuensi penurunan porsi air untuk sektor lain. Keadaan akan semakin sulit karena terjadi distribusi air yang tidak merata akibat kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan menurunnya daya tampung air terutama di musim kemarau. Menurunnya kapasitas lahan dalam menyimpan air mengakibatkan hujan yang turun sebagian besar ditransfer menjadi aliran permukaan dan hanya sedikit sekali yang mengisi cadangan air tanah. Indikatornya terlihat dari karakteristik debit puncak yang tinggi dengan waktu respon DAS yang singkat, yang dapat mengakibatkan resiko banjir di hilir, sementara pada musim kemarau sebagian besar penduduk merasakan kesulitan air.

Perkembangan Kota Selaras Tuntutan Alam
Pada kasus Jakarta, langkah surut yang semestinya untuk dilakukan adalah penyesuaian perkembangan kota dengan karakter air hujan di wialayhnya dan di wilayah penyangganya (Bogor, Puncak, dan Cianjur atau Bopunjur). Secara geografis, Jakarta terletak di bagian yang terendah dari wilayah ketiganya, mestinya pengembangan kota diutamakan untuk menyambut cerianya air hujan dari Bopunjur karena air mengalir ke Jakarta yang lebih rendah. Perkerasan pedestrian atau trotoar yang ditutup semen diganti dengan paving block berlubang atau pemasangannya yang renggang, agar air meesap ke tanah. Kawasan tampungan air hujan alami seperti situ, rawa, areal pertanian kawasan perkotaan, atau taman-taman terbuka hijau juga harus dikembalikan fungsinya. Tak kalah pentingnya adalah, membebaskan bantaran sungai-sungai di Jakarta bagi kepentingan luberan airnya (catchment area) di kala curah hujan sedang tinggi.

Pada lingkup yang lebih kecil di tingkat rumah tangga, memanfaatkan curahan air hujan dengan menampungnya pada tanki, sumur resapan, dam bawah tanah, atau mengganti perkerasan semen di halaman rumah dengan rumput atau paving block adalah tindakan yang ramah pada air hujan. Setelah air hujan ditampung, dapat dilakukan pengelolaan penggunaannya sebagai air baku minum atau air bersih bagi keperluan sehari-hari. Peningkatan nilai guna dari air hujan agar berdaya guna memang sangat penting untuk dilakukan, agar limpasan air hujan yang selama ini ‘mengganggu’ dapat memberikan hasil guna yang optimal kehidupan kita.

Memanen Air Hujan
Memanen air hujan atau rainwater harvesting merupakan suatu cara menampung air pada musim hujan untuk dapat dipergunakan pada saat musim kemarau. Secara sederhana panen hujan telah dilakukan masyarakat Lembah Indus (India). Brazil atau Provinsi Gansu, di China memiliki kebijakan dalam memanen air hujan lewat atap-atap rumahnya, atau Toronto Kanada dan New Zealand telah memanen air hujan lewat atap-atap rumahnya, baik di kota besar atau kota kecilnya. Intinya, memanfaatkan air hujan dapat dilakukan dengan memanen atau menampung air hujan dari atap rumah, untuk dimanfaatkan bagi keperluan air minum dan rumah tangga.
Sistem panen hujan untuk keperluan rumah tangga dengan menampung aliran air dari atap rumah dapat mempergunakan berbagai jenis bak penampung yang sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Bentuk penampung air dapat berupa penampung air di atas (tank) maupun di bawah permukaan tanah (dam atau reservoir). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan bangunan penampung air yaitu:
a. jumlah penampung yang diperlukan,
b. jenis dan ukuran daerah tangkapan (catchment area),
c. jumlah curah hujan/tahun,
d. jenis tanah,
e. ketersediaan dana,
f. kemampuan teknis dan pengalaman, dan
g. ketersediaan sumberdaya air.

Potensi jumlah air hujan yang dapat dipanen (the rainwater harvesting potential) dapat diketahui melalui perhitungan secara sederhana, sebagai berikut: Jumlah air yang dapat dipanen = luas area x curah hujan x koefisien runoff. Sebagai ilustrasi, untuk suatu areal tangkapan hujan dengan luas 200m², curah hujan 500mm/tahun, dan dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen, maka volume air hujan yang dapat dipanen adalah 80.000liter/tahun.


Untuk luas penampung air dapat ditentukan berdasarkan konsumsi air harian/orang, jumlah orang dalam satu rumah tangga, dan rata-rata musim kemarau terlama. Sebagai contoh, untuk memenuhi kebutuhan sebuah rumah tangga dengan anggota keluarga 5 orang, konsumsi airnya 20liter/hari/orang, dan musim kemarau terpanjang selama 100 hari, secara sederhana dapat dihitung: 20 x 5 x 100 = 10.000 liter atau 10m³. Namun demikian di daerah dengan curah hujan rendah dan tidak menentu diperlukan penetapan kapasitas tampung yang lebih teliti. Tempat penampungan juga selayaknya dapat menampung air pada musim hujan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau.

Sepertinya, tak pelak pula bila kita membiasakan mengucapkan istilah rainwater harvesting dan melaksanakannya dalam habitasi lingkungan binaan dan alami kota kita ini. Semua harus dilakukan sekarang, karena waktu tak pernah berhenti bergulir menuju krisis air bersamaan dengan global warming. Upaya penanaman berjuta-juta batang pohon sangat baik, jika dibarengi dengan upaya memanen hujan, menyimpan, mengolah, dan mendistribusikannya untuk berbagai keperluan selama krisis. Krisis yang akan disebabkan oleh langkanya air atau harganya yang makin mahal, siapa yang tahu? Saya, anda, dan pemerintah kota mestinya mampu menyediakan payung sebelum turun hujan kan??

No comments: