December 12, 2008

Metoda Sokrates


Sokrates hidup di Yunani Kuno sekitar 2500 tahun lalu. Kecendekiaan Sokrates menyebabkan namanya tetap dikenal umum sampai sekarang ini. Ada sejumlah sumbangan yang diberikan oleh Sokrates kepada kita. Salah satu sumbangan Sokrates yang berdampak besar di bidang pengetahuan adalah metoda yang kini dikenal sebagai metoda Sokrates.

Pada dasarnya metoda Sokrates eukup sederhana. Pada zamannya, Sokrates mencari kebenaran atau kepalsuan melalui tanya jawab berantai. Tanya jawab seperti inilah yang dikenal sebagai metoda Sokrates. Sokrates berpendapat bahwa orang bijak adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui. Mungkin karena tidak mengetahui itulah maka Sokrates berdialog.

Ketika fiIsafat muncul pada zaman Yunani Kuno maka salah satu ciri khas filsafat adalah dialog yang bersumber dari metoda Sokrates itu. Dan ketika filsafat diadopsi oleh berbagai bidang pengetahuan maka sistem dialog ikut digunakan oleh berbagai bidang pengetahuan itu.

Metoda Sokrates atau dialog paling sedikit memerlukan dua hal. Pertama. dialog memerlukan bahan untuk didialogkan. Dalam hal ini para filsuf bebas melakukan observasi, berpikir, dan berspekulasi. Spekulasi inilah menjadi bahan untuk dialog. Kedua. dialog memerlukan aturan. Aturan dialog yang mereka gunakan adalah logika.
Universitas zaman pertengahan di Eropa mewajibkan dosen menyelenggarakan dialog seminggu sekali. Mereka menamakan dialog demikian sebagai disputatio. Sebagai bahan disputatio biasanya ada orang yang menempatkan pikirannya. Dalam bahasa Latin kata tesis berarti ‘menempatkan’ atau ‘mendudukkan’, sehingga kemudian penempatan pikiran untuk disputatio dikenal sebagai tesis.

Setelah disputatio. dosen melakukan kompilasi dari pembicaraan pada hasil disputatio. Kompilasi ini dikenal sebagai dubium (jamak: dubia). Dubia dapat digunakan sebagai bahan referensi di dalam universitas. Metoda Sokrates yang menjadi dialog dan selanjutnya menjadi disputatio masih terus digunakan sampai sekarang di dalam universitas dalam bentuk ujian tesis.

Kekuatan dialog ini menyebabkan filsafat diadopsi oleh berbagai bidang pengetahuan. Filsafat dengan dialognya digunakan di bidang medik, di bidang pengetahuan alam, dan kemudian di bidang pengetahuan soslal. Bahkan dialog demikian dilengkapi dengan kegiatan empirik untuk penjustifikasian dalam dialog. Berkat dialog seperti ini terjadilah kemajuan di berbagai pengetahuan ilmiah. Berkat dialog terjadilah perbedaan di antara sofis dan filsuf serta di antara dukun dan dokter.

Metoda Sokrates berupa dialog kini menjadi inti dari kecendekiaan kita sekarang. Dialog muncul di jurnal i1miah, di panel diskusi, di seminar ilmiah. dan bahkan diharapkan terjadi di dalam kelas. Agar dialog dapat terjadi, sesuai dengan hakikatnya, diperlukan bahan dan aturan. Aturan berupa logika sudah ada di universitas. Karena itu. yang perlu kita siapkan adalah bahan untuk dialog. Bahan dialog ini diharapkan datang dari para dosen di universitas.

Kalau setiap dosen dapat menyiapkan bahan dialog sepuluh tahun sekali. maka universitas dengan empat ratus dosen dapat menyajikan 400 bahan dalam waktu sepuluh tahun. Ini berarti ada 40 bahan dalam setiap tahun atau 20 bahan dalam setiap semester. Sepuluh tahun sekali menyiapkan bClhan dialog rasanya tidak terlalu memberatkan beban dosen.

Metoda Sokrates berupa dialog atau disputatio atau diskusi tidak sekadar berguna di bidang pengetahuan ilmiah. Metoda Sokrates dapat juga diterapkan di berbagai bidang di dalam hidup kita termasuk di dalam universitas. Metoda Sokrates dapat diterapkan di dalam perencanaan dan di dalam penyelesaian masalah. Syarat minimalnya cukup dua: ada bahan dan ada aturan.

October 20, 2008

Hukum Nikah AntarAgama: Negara atau Agama Melarang?

Teks-teks suci tidak berdiri pada ruang hampa ketika ia menyapa manusia. Memang banyak peristiwa di sekitar kita yang menunjukkan ambiguitas teks ketika berhadapan dengan realitas bahwa cinta suci tidak memandang sekat-sekat etnisitas dan agama...

Untuk melihat persoalan ini, mungkin dua hal yang perlu dibahas. Dilihat dari hukum positif, negara memang tidak mengizinkan kawin antaragama. Dalam hukum agama yang umum ada dua penjelasan: Pertama, secara eksplisit teks Alquran membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. Itu terdapat dalam surat Al-Maa’idah ayat 5 (teks yang berbeda, lihat juga Korintus 7:15) Bahkan, ada pembahasan ulama yang lebih luas tentang ayat itu. Umumnya, yang masuk lingkup ahli kitab itu hanya Yahudi dan Kristen. Tapi dalam ayat itu bukan disebut ahli kitab, tapi alladzîna ûtû al-Kitâb, orang-orang yang mempunyai kitab suci.

Dalam Alquran terdapat kategorisasi golongan musyrik, mukmin dan ahli kitab. Orang musyik adalah mereka yang percaya pada adanya Tuhan, tapi tidak percaya pada kitab suci dan atau tidak percaya pada salah seorang nabi. Mereka itu adalah musyrik Mekkah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi. Kalau ahli kitab, mereka percaya pada salah seorang nabi dan salah satu kitab suci.

Yang diistilahkan Alquran dalam surat al-Maa’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab. Mereka percaya bahwa itu adalah kitab suci dan yang diutus kepada mereka adalah seorang nabi; maka menikahi mereka itu dibolehkan. Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gauthama adalah seorang Nabi. Konghuchu, dianggap nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho. Mereka itu dianggap sebagai orang yang diberi kitab dan boleh dikawini. Mereka kadang mengatakan, ini kitab dari Nabi Ibrahim, kok! Atau kitab dari Nabi Luth. Yahudi boleh karena jelas diutus padanya Musa. Umat Nasrani mempunyai Nabi Isa. Itu beberapa pendapat. Ulama yang mempunyai pembahasan yang lebih luas memasukkan Konghuchu, Budha dan Shinto sebagai yang boleh dikawini. Itu memang sudah dipraktekkan Islam dan sampai sekarang banyak sekali laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim.

Yang mempraktekkan itu misalnya, Yasser Arafat dengan Suha dan itu tidak menjadi masalah di Palestina sana. Rasullulah sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam. Utsman kawin dengan salah seorang ahli kitab. Ada yang dengan Kristen dan juga dengan Yahudi. Sampai sekarang, praktek pernikahan antaragama itu berjalan terus. Sebagian ulama melarang, tapi teks secara eksplisit membolehkan. Persoalan kita tadi, bagaimana kalau sebaliknya, yakni laki-lakinya non-muslim dan perempuannya Islam.

Pertama-tama perlu dijelaskan, bahwa teks Alquran secara eksplisit tidak ada yang melarang. Hanya saja, mayoritas ijtihad para ulama, termasuk di Indonesia, tidak membolehkannya meski secara teks (Alquran) tidak ada larangan. Makanya, yang membolehkan memiliki landasannya dan yang melarang juga punya landasan tertentu. Larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam itu tidak disebutkan dalam Alquran. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.

Mengenai masalah anak, karena yang penting, bagaimana suami-isteri itu mendidik anak secara baik. Karena dalam semua agama mengandung nilai moral yang sama dan bersifat universal. Kita mendidik anak untuk berbuat baik pada orangtuanya. Kita mendidik anak kita supaya jangan berbuat jahat dan berbuat baik pada siapa saja. Itu adalah nilai-nilai universal yang sangat ditekankan semua agama. Jadi kita didik anak kita secara baik kemudian dia pilih agama apa, hal itu terserah anak.

Salah satu alasan sebagian ulama mengharamkan laki-laki non-muslim menikah dengan wanita muslim karena dikhawatirkan istri atau anak-anaknya menjadi murtad. Karenanya, dalam kasus ini, ijtihad dan pendapat para ulama yang melarang wanita muslim menikah dengan pria non muslim perlu ditinjau ulang. Dalam masalah warisan, pendapat ulama berbeda-beda. Ada yang menyebut tidak boleh saling mewarisi kalau berbeda agama. Tapi ada yang berpendapat sesungguhnya sang isteri bisa mewarisi suami dan tidak bisa sebaliknya. Betapa pun, ada solusi terbaik dari Alquran, wasiat misalnya. Kalaupun terhalang, suami bisa saja berwasiat, “..ini rumah kalau saya meninggal nantinya untuk kamu. Atau buat anak ini dan itu...” Itu boleh saja.

Terdapat hadist Nabi tentang pernikahan yang memakai empat kriteria: kecantikan, kekayaan, keturunan dan agamanya. Menurut pendapat sebagian ulama, kita dianjurkan memprioritaskan agamanya. Kemudian kalau ada orang bilang ini ada perempuan cantik dan saya ingin kawin dengan dia misalnya. Apakah tidak sah perkawinannya? Tetap sah. Tapi Nabi menganjurkan memilih agamanya, artinya orang yang bermoral. Agama dalam arti nilai-nilai yang baik. Namun bila ada yang lebih memilih kekayaan dan kecantikan dalam urusan mencari jodoh, maka tidak dilarang oleh agama dan kawinnya tetap saja sah.

Ada seorang sahabat bernama Hudzaifa al-Yamani yang kawin dengan perempuan Yahudi, kemudian Umar menulis surat padanya agar menceraikan istrinya. Kemudian Hudzaifah ini menjawab, apakah perkawinan kami haram? “Tidak haram”, kata Umar, “hanya saja, saya khawatir perkawinan kamu itu nantinya berdampak negatif”. Apa maksudnya? Begini, ada persoalan sosial pada masa itu. Waktu itu Islam dalam penyebaran ajarannya mengalami banyak sekali tantangan dari luar. Banyak para sahabat yang meninggal dalam medan perang yang menyebabkan janda-janda perempuan menjadi membludak. Kalau laki-laki muslim menikah dengan non-muslim, lantas perempuan muslim, khususnya para janda ini bagaimana? Karena itu Umar secara politis melihat tinjauan strategis itu. Karena dia ketika itu berkuasa, maka dia melarang itu. Larangan Umar bisa dibaca sebagai larangan kekuasaan, dan bukan larangan agama. Sama saja dengan hukum negara kita sekarang ini. Dalam kasus ini, laki-laki muslim tidak dibolehkan menikahi perempuan non-muslim, padahal hukum agama membolehkan.

Reorientasi Dakwah Islam dan Pengabaran Injil

Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya.

Islam dan Kristen adalah dua agama paling gencar dalam menyampaikan ajaran-ajarannya ke tengah masyarakat. Penyampaian ajaran itu dalam Islam disebut dakwah, dan dalam Kristen disebut misi atau pengabaran injil. Dalam Islam, perintah penyebaran ajaran itu tertuang dalam Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad. Allah berfirman, “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat-kebijaksanaan, nasehat yang baik, dan dialog yang konstruktif (wa jadilhum billati hiya ahsan)” [QS, al-Nahl (16): 125]. Nabi Muhammad pun pernah bersabda, “Sampaikanlah sekalipun satu ayat dari ajaranku (ballighu `anni walaw ayatan)”

Sementara dalam Kristen, Matius 28: 19-20 adalah ayat yang paling kerap dijadikan pegangan sebagai landasan pengabaran itu. Yesus berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”

Pada dasarnya, pengabaran ajaran agama adalah baik. Saya percaya, baik di dalam Alqur’an maupun Injil, terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti perintah berbuat adil, mengasihi-mencintai sesama, maupun membantu kelompok-kelompok lemah-tertindas. Tidak ada agama yang datang sebagai ekspresi kesenangan dan kenikmatan hidup. Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya.

Namun, tak bisa disangkal, bahwa di dalam kitab-kitab itu tercantum pula partikular-partikular ajaran yang sekiranya diimplementasikan secara harafiah akan potensial menimbulkan petaka dan ketegangan antar-umat beragama. Dengan ayat-ayat partikular itu, tak sedikit orang berpendirian perihal pentingnya melakukan islamisasi dan kristenisasi. Banyak orang bangga dan merasa puas ketika berhasil mengkristenkan atau mengislamkan orang lain. Seakan pahala Tuhan ada dalam genggaman begitu seseorang berhasil membaptis dan men-syahadat-kan orang lain, tak peduli walau itu dilakukan dengan paksaan dan intimidasi. Untuk mengukuhkan agendanya itu, Matius 28 pun disitir lepas dari konteksnya. Begitu juga, tidak sedikit tokoh Islam dengan menyitir satu-dua ayat Alqur’an yang memerintahkan mengungguli umat agama lain dengan alasan mereka kafir dan musyrik.

Mengabarkan dan mendakwahkan ayat-ayat yang eksklusif-radikal seperti itu jelas kontra-produktif bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Indonesia. Hemat saya, yang perlu dikabarkan buat bangsa Indonesia yang lagi mengalami multi-krisis bukan Matius 28, melainkan Matius 19: 16-20 yang memuat ajaran kasih dan etika sosial. Disebutkan, ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata; "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus: "Apa sebabnya engkau bertanya kepadaku tentang apa yang baik? Hanya satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah" Orang itu kembali bertanya kepadanya, "Perintah yang mana?"’ Kata Yesus, "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”

Yesus Kristus pernah ditanya seorang ahli Taurat tentang hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat. Yesus menjawab,”Kasihanilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.” Lalu Yesus ditanya kembali tentang hukum kedua yang sama dengan itu. Yesus menjawab, “Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” [Matius 22: 36-40]. Ayat-ayat itu sebagai bukti kuat keberpihakan dan komitmen Kristen terhadap tegaknya etika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Di tengah angka pengangguran, kebuta-hurufan, dan kemiskinan yang tinggi di Indonesia, ayat-ayat dalam Injil tersebut makin menemukan relevansi dan signifikansinya untuk diterapkan.

Selanjutnya, dalam konteks Indonesia yang lembek dalam penegakan hukumnya, umat Islam lebih relevan mendakwahkan ayat-ayat keadilan Alqur’an ketimbang ayat-ayat yang menyuruh membunuh orang-orang kafir dan kaum musyrik. Allah berfirman, “Berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada ketakwaan” (QS, al-Ma’idah [5]: 8). Penegakan keadilan yang dikehendaki Alqur’an meliputi keadilan sosial, ekonomi, politik, dan keadilan di bidang hukum. Allah menegaskan, keadilan merupakan ukuran kualitas ketakwaan seseorang. Alqur’an pun mengatakan bahwa penegakan keadilan itu bukan hanya spesifik syariat Islam, melainkan juga mencakup pada seluruh syariat agama-agama semitik lainnya.

Sekiranya ayat-ayat pembebasan yang lebih diutamakan sebagai materi dakwah-misi para pengkhotbah agama di Indonesia, saya kira ketegangan yang kerap menyertai hubungan antar-umat beragama di Indonesia bisa dikurangi. Sebab, fokus perhatian muballigh dan missionaris tidak lagi pada penambahan jumlah keanggotaan suatu agama, melainkan pada kerja sama untuk advokasi dan pembebasan masyarakat tertindas. Namun, jika tetap tak ada perubahan fokus pada misi dan dakwah Islam dan Kristen, maka kekisruhan yang menyertakan penganut dua agama tersebut akan tetap sulit untuk akhiri. Untuk itu, kita tidak hanya perlu menelaah kembali makna dakwah, misi atau pengkabaran Injil, tapi juga perlu melakukan reorientasi dan perubahan fokusnya. [Abd Moqsith Ghazali, dalam JIL, edisi Indonesia. 4 Agustus 2008]

October 19, 2008

IBU...

Bu, ingatkah janjiku dulu?
Saat sandikala perlahan datang menumpu hari
Saat potongan ayam kita bubuhkan untuk lauk dagangan...

Ibu mungkin sudah lupa...
Sembari bekerja kita berbagi
Tentang untung rugi dan pengeluaran
Tentang nyeri tulang yang tak tertahankan
Tentang luka gores tangan yang telah mengering

Bu, jika aku mampu nanti jangan ibu tidur beralas tikar
Tak boleh lagi ibu basuh muka dengan air timba
Jangan pernah ibu melangkah saat kaki meradang

Bu...
Saat anakmu telah bisa, kenapa ibu tak bisa menunggu?

October 16, 2008

...W 871 HR, hanya itu..
Hanya angka dan aksara,
satu dari sekian obsesi.

Hanya untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa kehidupannya
tidak hanya lebih dari sekedar hidup...

October 14, 2008

TANTANGAN REALISTIS DALAM KEHIDUPAN (AGAMA) PLURAL

“...politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara simultan menjadi biang pencipta kekerasan dan teror di seantero dunia...” (Samuel Huntington)

Proses labelisasi terhadap sesama akan selalu terjadi pada kehidupan manusia di planet ini. Labelisasi terjadi atas dasar suku, agama, juga termasuk ideologi politik. Selain pelabelan atas dasar agama, proses labelisasi atas dasar prasangka terhadap yang dianutnya juga terjadi. Seseorang diberi label “kristen”, “islam”, “buddha”, “hindu”, “kong hu cu” atau bahkan “ahmadiyah”. Politik pun disurutkan atas dasar pelabelan ini. Politisasi agama, yang konon didasarkan pada PNPS 1/1965, telah menciptakan label agama ‘diakui’ dan yang ‘tidak diakui’. Politisasi agama itu juga yang menjadi dasar pelabelan agama ‘benar’ dan ‘sesat.’ Celakanya, di saat terjadi politik labelisasi atas dasar agama yang memilah dan cenderung melakukan pembedaan terhadap manusia, agama justru tampil sebagai pemberi legitimasi. Labelisasi tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri.

Samuel Huntington, dalam Clash of Civilization-nya, mengingatkan bahwa politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara tendensius menjadi biang pencipta kekerasan di dunia. Pelabelan bukan cuma meredusir identitas seseorang tetapi bahkan menciptakan sekat-sekat dan prasangka-prasangka di antara umat manusia. Dunia yang luas ini pun seolah dipetak-petak dalam kotak yang sempit. Dan petak itu bukan sesuatu yang nyata, ia hanyalah sebuah kerangka abstrak dalam isi kepala, di luar dari pada bagian itu, kenyataannya akan selalu berbeda!

Akar-akar labelisasi atas dasar agama muncul dari cara orang memahami Tuhannya dan agamanya itu sendiri. Prasangka yang terjadi di antara manusia yang berbeda itu, memiliki akar kuat dari cara seseorang atau sekelompok memahami Tuhan yang disembahnya. Ketika Tuhan dipahami sebagai Tuhan suku (a tribal God) maka Tuhan selalu menjadi pemberi legitimasi terhadap prasangka dan, bahkan, konflik dengan mereka yang dianggap memiliki label berbeda. Tuhan pun dipersempit menjadi Allah penyelamat suku atau kelompok tertentu. Tuhan suku adalah Tuhan ciptaan manusia yang berpikiran sempit, karena itu Tuhan pun didefinisikan secara sempit (John Shelby Spong, dalam Yesus Bagi Orang Non Religius). Bagi Spong, manusia dan dunia ini tidak membutuhkan Tuhan yang “picik” seperti itu. Sebaliknya, manusia dan dunia ini membutuhkan Tuhan yang merangkul dan mencintai semua orang termasuk mereka yang berbeda, Tuhan yang siap merubuhkan tembok-tembok pembatas, membongkar kapling-kapling sempit yang ada dalam pikiran manusia.

Menurut Andre Dumas, labelisasi terjadi karena agama lebih dipahami sebagai pengikat (religare) daripada sebagai persekutuan (relegere). Sebagai pengikat, agama membentuk pengelompokan-pengelompokan yang berpotensi membangun keamanan diri dan pada sisi lain membentuk prasangka bahwa yang lain adalah musuhnya. Sebaliknya, sebagai persekutuan, agama justru menjadi kekuatan yang merangkul sang liyan berdasarkan cinta dan keterbukaan.

Seseorang yang dipenuhi cinta dan keterbukaan akan mampu menerima dan bahkan merangkul perbedaan, karena perbedaan adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pendewasaannya. Seorang yang mengalami kehadiran Tuhan tidak pernah takut oleh perbedaan dan tidak akan berjuang untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Sebaliknya, ia selalu menjadi sesama bagi siapa pun, termasuk terhadap mereka yang berbeda. Para nabi, seperti Muhammad dan Yesus, adalah mereka yang berjuang untuk kepentingan semua. Mereka adalah tokoh yang berhasil melewati rintangan label dan batasan yang diciptakan oleh ilusi manusia. Mereka mampu berdialog dengan siapa pun. Mereka bahkan siap menjadi pembela bagi siapa pun. Hidup dan perjuangan mereka selalu dikuasai oleh cinta dan keterbukaan. Mereka diikuti, dicintai, dan dihormati bukan karena kekerasan dan kebengisan tetapi oleh karena cinta dan keterbukaannya. Mereka membangun interaksi dan dialog yang berdasarkan kerendahan hatinya.

Tantangan plural yang nyata dalam kehidupan umat manusia pada masa kini adalah: Tanggalkan ilusi sempit dan prasangka terhadap yang lain. Manusia yang beragama harus belajar membuka diri seluas-luasnya, belajar menerima, dan menghargai mereka yang berbeda; Manusia yang beragama harus mampu menumbuhkan humanisme dan mampu menolak proses dehumanisasi yang terjadi karena politisasi agama.

October 07, 2008



Life without you is not life
but a nightmare
A nightmare that eats
my skin little by little
A nightmare that pricks
my soul until I feel no more
Life is not life, without you...

September 26, 2008

Bila Tuhan dekat dengan kasih sayangNya, ingatlah bahwa Tuhan itu Maha Penyayang, dan bila Tuhan dekat dengan amarahNya, ingatlah juga, bahwa Tuhan itu Maha Pengampun...

September 23, 2008

Tuhan dekat dengan kita, lebih dekat dari pembuluh darah di leher...
Tuhan dekat dengan kita, apakah Tuhan dekat dengan kasih sayangNya atau dengan amarahnNya?

August 19, 2008

Le Carrefour Javanais


Narasi sejarah umumnya dituturkan seturut waktu (kronologis), tapi buku ini menuturkan seturut perubahan lapis budaya. Inilah buku sejarah pertama tentang Nusantara yang dituturkan secara les annales. Denys Lombard telah merintis sebuah pendekatan yang sangat orisinil-"geologi budaya"-dengan mengamati berbagai lapisan budaya, mulai dari yang tampak sempai yang terpendam dalam sejarah.

Ibarat lapisan kulit bumi, kebudayaan ada pada lapis terdalam. Di atas lapis kebudayaan ada sosial, ekonomi, dan politik. Makin tinggi lapis geologis, semakin cepat perubahan di lapisan itu. Perubahan di lapis lebih bawah sontak mempengaruhi lapis yang lebih tinggi. Politik boleh berubah seribu kali sehari, tetapi perubahan di lapis kebudayaan belum tentu berubah dalam rentang seribu tahun. Sebaliknya, gegar-budaya berdampak pada lapis sosial, ekonomi, dan politik. Setiap lapisan budaya itu diuraikan sejarah perkembangannya, dan diulas unsur masyarakat yang mengembangkannya. Pertama-tama dibahas unsur-unsur budaya modern, yaitu zaman pengaruh Eropa (Buku I: Batas-batas Pembaratan); kedua unsur budaya yang terbentuk sebagai dampak kedatangan agama Islam dan hubungannya dengan dunia Cina (Buku II: Jaringan Asia); dan ketiga, unsur budaya yang dipengaruhi oleh peradaban India (Buku III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris).

Adalah di Jawa, sejarah Indonesia dimulai, dan mencapai puncaknya pada zaman Majapahit (abad ke-13 sampai ke-16).

Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda yang kuat, juga memilih Jawa (Batavia) sebagai pusat perdagangan Belanda untuk kawasan Nusantara, dan selanjutnya menyebarkan pengaruh ke seluruh Jawa. Bila semula VOC berdagang secara damai, lambat laun ia memasuki wilayah politik untuk menguasai perdagangan. Walau jumlahnya cuma sedikit-menurut angka tahun 1674 hanya sekitar 2.000 orang-mereka mampu membuat Jawa, yang ketika itu diperkirakan berpenduduk 1-2 juta orang, tunduk. Menurut Lombard, itu dikarenakan para bangsawan Jawa tercabik-cabik dalam perang suksesi, sehingga mudah diadu domba. VOC membela salah satu pihak dengan imbalan boleh mengendalikan perdagangan di kerajaan itu (halaman 61-66, Buku I).

Setelah VOC bangkrut dan kendali atas Nusantara diambil alih Kerajaan Belanda (1800), pengaruh Belanda makin meluas ke berbagai aktivitas masyarakat. Budaya dan kebiasaan Belanda merasuk dalam arsitektur, sistem pemerintahan, bahkan cara berpakaian di keraton Jawa. Munculnya sastrawan, komponis, dan pelukis-pelukis di perkotaan tentu tak lepas dari pengaruh Belanda. Tak bisa diabaikan munculnya komunitas Katolik dan Kristen di beberapa daerah juga karena pengaruh Belanda (halaman 226-235). Bahkan, tulis Lombard, Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo (1908) adalah buah pendidikan Belanda. Selepas kemerdekaan Indonesia, pengaruh itu masih terasa, meskipun Indonesia berupaya kembali ke nilai-nilai Timur (halaman 226-246).

Dalam jilid pertama itu Lombard tampak berambisi menampilkan kajian komprehensif tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa akibat pengaruh Barat. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat pada karya besar ini, Lombard tak menjelaskan secara memuaskan mengapa masyarakat pedesaan, khususnya kaum santri dan pedagang muslim, relatif mampu menghindari pengaruh Belanda. Tak juga dijelaskan mengapa justru para pedagang muslim dan santri yang pertama kali membentuk organisasi massa, yang pengaruhnya mengindonesia (Syarekat Islam), bukan para kaum terdidik pribumi yang belajar di sekolah Belanda.

Jilid kedua (498 halaman) dan jilid ketiga (346 halaman) terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan jilid pertama. Pada jilid kedua, Lombard menggambarkan dengan gamblang pengaruh kebudayaan Islam dan Cina pada orang Jawa. Begitu pula pada jilid ketiga, yang menguraikan proses Indianisasi (masuknya agama Hindu dan Budha), yang memang meresap ke segenap aktivitas masyarakat.

Tesis Lombard tentang pengaruh masuknya Islam, Cina, Hindu, dan Budha sebenarnya tak berbeda dengan tesis penulis lain. Tapi ia mampu menyajikan fakta yang lebih menyeluruh.

Trilogi Lombard ini pada awalnya susah dipahami bagi yang terbiasa membaca narasi sejarah kronologis dan melompati kata pengantar. Tapi setelah memahami metodologi penulisannya, buku ini menjadi enak dibaca dengan dukungan data-data yang terinci. Pandangan ini bertolak-belakang dengan ajaran sejarah zaman Orde Baru (sampai hari ini) di Indonesia yang menyatakan ciri kebudayaan cuma ada tujuh (teknologi, matapencaharian, kekerabatan, bahasa, kesenian, agama, dan pengetahuan). Cara pandang klasik yang diajarkan di sekolah Indonesia lebih sering menciptakan cara pandang eksklusif alih-alih kesadaran inklusif berbangsa.

August 18, 2008

Pertarungan Identitas Islam Jawa


Konon, pada tahun 1870-an, ada seorang bupati di Jawa yang sangat mengagumi budaya, cara hidup, dan pendidikan Belanda sampai-sampai pernah berujar bahwa ia ingin hidup seperti seorang Belanda. Padahal, ia seorang Muslim. Ada yang bertanya kepadanya, apakah itu berarti ia akan pindah dan memeluk agama Kristen? ”Ah,” jawabnya, ”kalau mau jujur, saya lebih suka memiliki empat orang istri dan satu Tuhan ketimbang seorang istri dan tiga Tuhan.”

Cerita lucu itu, dikutip Ricklefs dari laporan CE van Keesteren tahun 1870, bisa menggambarkan soal yang rumit dan subtil tentang persoalan identitas. Sang bupati adalah wakil priayi, elite Jawa yang memperoleh hak privilese akibat cultuurstelsel yang dipaksakan Belanda pada tahun 1830-an, dan merasa bahwa modernitas yang dibawa Belanda dapat membuka masa depan yang jauh lebih cerah serta, sekaligus, kemungkinan untuk bangkitnya peradaban Jawa adiluhung sebelum Islam datang. Tetapi, mengapa sebelum Islam?

Benar, sang bupati adalah seorang Muslim. Akan tetapi, ia tidak ingin mengikuti visi Islam puritan, yang semakin kuat pengaruhnya semenjak kembalinya jemaah haji dari Tanah Suci. Begitu juga ia tidak lagi merasa krasan dengan sintesa mistik yang dulu menjadi serat kultural kejawaannya, di tengah kawruh modern yang dibawa oleh sains Eropa dalam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Namun, bagi orang seperti dia, kekristenan dengan doktrin trinitasnya (tetapi monogamis!) bukan pula alternatif menarik.

Maka, ke arah mana dia harus berpaling? Kembali pada peradaban Jawa pra-Islam, apa yang waktu itu dikenal sebagai zaman buda dan agama budi yang (lebih) utama. Pada bulan Mei seratus tahun lalu, visi itu menjelma jadi organisasi modern (bukan yang pertama di tanah Hindia Belanda, tambahan): Budi Utama (selalu dieja: Utomo, dan sekaligus menjawakannya).

Serat kultural Jawa
Identitas memang perkara licin, selalu tak (pernah) pasti. Alih-alih dari itu, identitas senantiasa merupakan pertaruhan, pertarungan, ataupun negosiasi. Kepastian identitas—apalagi jika mendapat terjemahan institusional dan politisnya—malah bisa sangat berbahaya. Buku Ricklefs memberi kita wanti-wanti soal itu.

Buku ini sesungguhnya merupakan bagian kedua dari sebuah trilogi ambisius yang mau melacak dan memerikan proses Islamisasi Jawa sejak abad XIV sampai sekarang. Dalam bagian pertama, Mystic Synthesis in Java (2006), Ricklefs menelusuri masuknya Islam ke tanah Jawa melalui berbagai tahapan konflik, rekonsiliasi, ataupun adaptasi yang rumit sehingga menghasilkan serat kultural bagi identitas Jawa—apa yang disebut Ricklefs sebagai ”sintesa mistik Jawa”. Polarising Javanese Society melanjutkan proyek itu, menyusuri pergumulan selama satu abad (1830-1930) ketika Jawa mengalami perubahan fundamental sebagai akibat penetrasi kolonial, yang membuat serat kultural tadi dipertanyakan ulang. Bagian ketiga, yang belum terbit, rencananya akan menelusuri pertarungan yang sama sejak awal abad XX sampai sekarang.

Dengan istilah ”sintesa mistik Jawa” yang lebih netral, alih-alih ”agama Jawa” (Geertz) atau ”Javanism” yang dulu sering dipakai para misionaris Belanda, Ricklefs menggarisbawahi bahwa identitas Islam sungguh-sungguh telah menjadi serat kultural terpenting bagi orang Jawa, baik pada lingkup aristokrat maupun masyarakat pada umumnya. Berkaitan dengan itu, elemen kedua dari sintesa tersebut adalah luasnya praktik-praktik ritual yang menjadi kelima soko guru Islam: syahadat, shalat lima waktu, bersedekah, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi ke Tanah Suci.

Yang menarik, elemen ketiga dari sintesa tersebut, menurut Ricklefs, adalah penerimaan terhadap figur-figur adikodrati yang selama ini hidup, dipercayai, dan dipraktikkan oleh penganut kepercayaan lokal masyarakat Jawa. Memang aneh melihat bagaimana tuntutan monoteis Islam yang keras dapat bersanding damai dengan figur-figur adikodrati kepercayaan lokal, seperti Nyai Roro Kidul, Sunan Lawu, Semar, dan seterusnya. Namun, Ricklefs yakin, pada masa sekitar tahun 1800-1830 ada semacam konsensus bahwa sintesa ketiga elemen itu menjadi sumber-sumber identitas kultural seseorang yang menentukan apa artinya menjadi ”orang Jawa”.

Segalanya berubah sejak dekade 1830-an. Berakhirnya Perang Diponegoro, dimulainya cultuurstelsel, serta perbaikan sarana transportasi dan komunikasi memberi tekanan luar biasa pada sintesa mistik itu yang, kemudian, menceraiberaikan elemen-elemennya. Proses purifikasi paham keagamaan dan reaksi terhadapnya menjadi benang merah yang memintal buku ini.

Dengan mendedah data statistik berdasarkan asal-usul jemaah haji, Ricklefs menengarai mereka yang setelah kembali dari Tanah Suci berusaha melakukan reformasi keagamaan (sering dikenal sebagai ”guru kitab”), sebagian besar datang dari daerah-daerah di mana masih belum banyak figur kiai tradisionalnya, yakni mereka yang biasanya dikenal sebagai ”guru tarekat”. Data statistik itu, kata Ricklefs, setidaknya mengisyaratkan adanya ”kontestasi gagasan yang sedang berkembang di dalam lingkup Islam, di mana para kiai dan haji memainkan peran masing-masing yang berbeda”. Atau, sembari mengutip pengamatan jeli E Gobbé tahun 1928: "Pada banyak wilayah terlihat konflik yang muncul antara para guru tarekat dan guru kitab..." (hal 63-69).

Arus purifikasi yang dibawa ”golongan putihan” ini menciptakan polarisasi sosial yang semakin runcing. Sebagian besar masyarakat, yang juga Muslim, kini menjadi ”bangsa abangan”—sebuah kategori sosial yang bahkan belum dikenal sebelum 1850-an—yang dianggap ”tidak tahu agama” atau bahkan ”belum beragama” karena masih mempraktikkan kepercayaan lokal (hal 103-104).

Menariknya, proses purifikasi serupa juga terjadi dalam lingkup kekristenan, dengan dihancurkannya eksperimen ”Kristen Jawa” ala Sadrach oleh ”Kristen londo” yang dibawa para misionaris (Bab V). Sementara itu, para priayi, kaum aristokrat Jawa yang diuntungkan oleh cultuurstelsel dan menjadi ”elite profesional” dalam struktur birokrasi kolonial, mulai mengembangkan gagasan-gagasan baru mereka tentang kejawaan pra-Islam (Bab VI) lewat Bramartani, harian pertama berbahasa Jawa yang terbit pertama kali tahun 1855 di Surakarta. Bagi para priayi, tulis Ricklefs, ”Budaya Eropa seperti membuka pintu ke dalam penemuan modern dan kosmopolitanisme, akan tetapi pada saat bersamaan pada identitas kultural Jawa yang lebih adiluhung, lebih otentik” (hal 129).

Identitas yang terbelah
Apa yang dilakukan Ricklefs pada dasarnya mau mengurai pertarungan dan perubahan identitas ”Islam lokal” di Jawa selama satu abad yang menentukan. Sampai tahun 1830, rajutan identitas itu masih utuh terjaga oleh sintesa mistik Jawa dengan ketiga elemennya. Tetapi, sejak itu tiap-tiap elemen dalam sintesa tersebut tercerai-berai dan makin memperlebar polarisasi masyarakat.

Memasuki abad ke-20, polarisasi masyarakat Jawa di atas memperoleh terjemahan institusional dan politisnya. Identitas tiap-tiap kelompok tidak lagi cair, melainkan mengeras dan saling berhadapan. Itulah cikal bakal dari apa yang sering disebut sebagai ”politik aliran”, ketika perbedaan di dalam suatu tradisi keagamaan memperoleh reproduksinya pada tataran sosial politik. Kita tahu perbedaan ”aliran” ini menjadi salah satu faktor utama pembunuhan massal 1965-1966 yang mengawali rezim totalitarian Orde Baru.

Banyak orang menengarai, ”politik aliran” kini tidak lagi punya jejak pada masa reformasi. Tentu saja ini butuh penelitian lebih mendalam. Akan tetapi, buku Ricklefs memberi kita wanti-wanti betapa berbahayanya ketika perbedaan internal di dalam suatu tradisi keagamaan direproduksikan secara sosial politik, dan karena itu sangat gayut dengan masa sekarang. Di tengah pertarungan identitas yang kini marak di lingkungan gerakan Islam, refleksi Ricklefs patut direnungkan sungguh-sungguh.

Sejatinya, tulisan ini didasarkan pada tulisan Trisno S. Sutanto

July 30, 2008

Karl Friedrich May (1842-1912)


“Menang, kemenangan besar ! Saya lihat semuanya cerah !” Itu konon kata-kata terakhir Karl Friedrich May (1842-1912), pencipta tokoh Old Shatterhand, Winnetou dan Kara Ben Nemsi itu, sebelum tutup usia pada umur 70. Saat itu dia terkapar dan mengigau di kamar tidur vila mewahnya di Radebeul dekat Dresden. Kalau mau dikatakan ada suatu kematian yang agung, mungkin itulah saat kematian Karl May pada 30 Maret 1912. Di ujung hari itu, Karl May seakan-akan tampil sebagai Mannitou yang Agung, dewa orang Indian ciptaannya yang berhak memindahkan roh dari jasad menuju hidup dalam keabadian.

Saat wafat, selain meninggalkan sejumlah kekayaan hasil karya kisah petualangannya, dia juga meninggalkan dua orang janda, seperangkat peralatan kerja yang lengkap, tiga senapan legendaris khas jagoan ciptaannya, serta 73 jilid karyanya yang kalau dideretkan mencapai panjang sekitar 2,5 m.

Namun bagi orang yang hidup sezamannya, Karl May juga meninggalkan berbagai pro dan kontra mengenai diri pribadinya. Untungnya, di tengah rasa benci dan antipati beberapa orang tertentu, masih ada seorang Bertha von Suttner yang menghargai pribadi May. “Dalam dirinya yang begitu kontroversial, sebenarnya juga berkobar api kebaikan”, kata Von Suttner, pemegang Hadiah Nobel untuk kebebasan itu. Bertha juga tercatat sebagai salah seorang dari 3.000-an hadirin dalam ceramah terakhir Karl May di Sophiensaal, hanya delapan hari sebelum kematian “bapaknya” Old Shatterhand itu. Kebetulan dalam ceramah itu hadir juga Adolf Hitler, hingga di saat Hitler menjadi tokoh adikuasa, dia pun ikut mengusulkan agar Karl May diakui secara nasional.

Apa May termasuk pembual atau sastrawan. Apakah dia itu pantas menjadi teladan bagi kaum muda, atau malah pemberi contoh buruk. Lepas dari segala sisi kurang-lebihnya, Karl May itu harus diakui sebagai penulis yang luar biasa sukses. Buku-buku cetakannya, sementara ini di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 100 juta lebih. Bahkan di Jerman sendiri, selama satu abad ini hampir tidak ada anak-anak Jerman yang tidak terpincut membaca kisah petualangan tokoh May, entah ke Kurdistan, ke padang garam Arab atau ke daerah prairi di Amerika Utara.

Khususnya kisah petualangan jagoan kelahiran Sachsen, Old Shatterhand bersama pasangannya Winnetou yang merambah padang prairi wild west yang penuh deru peluru, serta desing anak panah bercampur jotosan di sela tembakan senapan, ternyata tidak hanya memabukkan bocah sekolah menengah saja, namun juga mencandui beberapa budayawan besar. Misalnya Dramawan Carl Zuckmayer tak segan menyebut nama depan putrinya dengan panggilan Winnetou. Penggemar buku Karl May lainnya, ternyata mengagetkan sekali. Beberapa sumber menyatakan kalau Albert Einstein, Hermann Hesse, Karl Liebkneckt, Albert Schweitzer, Adolf Hitler dan lainnya adalah pecandu berat buku karya May.

Hasil penyelidikan terakhir terhadap kisah kehidupan dan karya Karl May, telah dilakukan oleh Hamburger Verlag Hoffmann dan Campe, berupa sebuah buku berjudul "Swallow, Kuda Liar yang Setia" setebal 420 halaman, tulisan Erich Loest (Leipzig). Buku itu menceritakan kisah asal-muasal melambungnya Karl May, dari seorang narapidana menjadi penulis yang sangat terkenal serta amat dipuja kaum muda Jerman.

Dalam buku itu, Loest menyitir kembali buku dan surat-surat Karl May, akte kepolisian, protokol pemeriksaan dan berita-berita pengadilan. Sebagian dari dokumen itu diterbitkan dalam "Der Groesse Karl May Bildband". Di sini terlihat betapa dunia kanak-kanak May begitu muram dan suram, amat berbeda dengan kecerahan kisah petualangannya di prairi ataupun padang pasir.

Mulai mencuri dan menipu

Di Ernsthal, sebuah daerah kumuh dan miskin di dekat Chemnitz (sekarang Kota Karl-Marx), Karl Friedrich May lahir pada 25 Februari 1842, pukul 20.00, sebagai anak kelima dari 14 bersaudara. Ibunya, Christiane Wilhelmine Weise, seorang bidan, di usia antara 19–43 tahun disibukkan dengan melahirkan anak-anak hasil perkawinannya dengan seorang penenun, Heinrich August May. Sembilan di antara ke-14 anak mereka itu meninggal dalam usia kanak-kanaknya. Hanya Karl dan dua saudara perempuannya yang berhasil bertahan hidup hingga usia dewasa.

Di kota berpenduduk tak sampai 3.000 jiwa yang sebagian besar hidup dari menenun, di awal abad ke-19 itu keadaannya terus makin memburuk. Tak heran bila mata pencaharian “sampingan” akhirnya juga tidak bisa dihindari, seperti menyelundup dll. Penyakit kurang gizi pun merajalela, serta amat menentukan mati-hidupnya seseorang pada waktu itu.

Dalam keadaan hidup yang serba kekurangan itulah, Karl May sempat terserang buta di awal kehidupannya sebagai anak kecil. Untung sekali, Karl kecil sembuh dan dapat melihat kembali ketika berumur sekitar 5 tahun. Tapi tubuhnya tetap kekurangan gizi, sehingga Karl pun tumbuh menjadi anak yang lemah. Di sekitar usia enam tahun, Karl yang berbadan lemah belum sanggup berdiri, apalagi berjalan. Namun, di dalam keadaan hidup dan tubuh yang boleh dikata tak berdaya itu, kiranya justru semakin mengeraskan semangat hidup, serta mengobarkan lidah api perjuangan dalam dirinya.

Saat Karl masih kecil, biasanya setiap pulang sekolah, sering mampir di sebuah warung. Biasanya dia langsung menuju ke suatu pojok kedai itu, karena di sana ada sebuah meja dan di atasnya selalu tersedia sebuah buku cerita tua dengan gambar-gambar lusuh. Buku ini mengisahkan dongeng menegangkan tentang kepala perampok Rinaldo Rinaldini. Di sinilah Karl mulai mengenal dan tergila-gila dengan cerita-cerita khayalan yang menegangkan, khususnya kehadiran seorang tokoh kepala perampok yang begitu “mengagumkan”. Mungkin karena pribadi perampok itu begitu dermawan, dia selalu merampok orang kaya, kemudian harta jarahannya selalu dibagi-bagikan kepada orang miskin.

Selain Karl May sejak kecil sudah keranjingan membaca buku petualangan, juga prestasinya di sekolah cukup baik. Misalnya untuk pelajaran berhitung, Karl selalu unggul sekali melumat angka-angka, hingga tak seorang teman sekelasnya pun mampu menandingi keenceran otak Karl dalam soal ini.

Pada usia akil balik ke-14 tahunnya, seorang bangsawan Jerman tertarik pada kepintaran Karl, lalu dia bersedia menyandang dana untuk Karl agar meneruskan pendidikan di sebuah sekolah guru di Waldenburg. Di sana Karl dengan leluasa mendalami pelajaran berhitung, ilmu bumi, sejarah dan sedikit bahasa Latin, kesenian Jerman, bahkan belajar piano dan orgel. Di sekolah itu juga, Karl ditugasi mengurus alat-alat penerangan, termasuk persediaan lilin.

Dua tahun kemudian, Karl sebagai penanggung jawab alat penerangan ruang asrama, tertangkap oleh rekan seasramanya. Karl ketahuan mencuri enam buah lilin! Batangan lilin itu terbukti ada di dalam kopernya. Namun Karl berkelit, dia sama sekali tidak merasa kelakuannya itu suatu kesalahan. Prinsip pengambilan lilin itu demi suatu tujuan yang baik, yakni untuk diberikan kepada orang tua serta saudara perempuannya agar menjadi cahaya penerang di malam Natal !

Perbuatannya itu tetap dianggap kesalahan. Karl May pun dikeluarkan dari sekolah di Waldenburg, lalu dipindahkan ke Plauen. Di sekolah baru ini, Karl berhasil menyelesaikan sekolahnya dan memperoleh pekerjaan sebagai guru pembantu pada suatu sekolah anak-anak miskin. Tapi jabatan ini hanya berlangsung 14 hari saja. Di sana, Karl bikin ulah lagi. Penyewa kamar menuduhnya selalu bersikap tidak sopan, serta sering kali berbohong pada nyonya rumah. Reputasi buruk ini mengakibatkan Karl tidak bisa menjadi pengajar di sekolah pemerintah.

Akhirnya si guru muda yang masih mentah pengalamannya ini, diterima bekerja di sebuah sekolah dasar di kawasan pabrik Sobrig dan Claus di Alt-Chemnitz. Ruang kelas sekolah itu amat kacau balau, maklum saja karena semua muridnya anak-anak buruh pabrik. Di saat memasuki hari libur Natal pertama, lagi-lagi Karl May dituduh mencuri jam saku milik teman sekamarnya. Kali ini Karl ditahan polisi. Walaupun dia memberikan alasan hanya meminjam jam tangan itu, namun hakim di ruang sidang tetap mengetokkan palu dengan vonis hukuman bui selama enam minggu.

Dokter dan polisi gadungan
Peristiwa ini benar-benar memukul nuraninya. Rasa ini terbaca dalam kata-katanya : “ …..peristiwa ini benar-benar macam pukulan keras di kepala, serta hampir saja menghancurkan diri sendiri ………walau demikian saya berusaha untuk tegak kembali, itu pun hanya yang tampak di luar saja, sedangkan dalam diri sendiri, saya merasa tetap bagai terbaring dan terbius, sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan ……..Saya memang sakit jiwa tapi tidak sakit pikiran ……….”

Setelah dibebaskan, Karl pun kembali ke rumah orang tuanya di Ernsthal. Selama itu dia pun menganggur, tak ada lowongan pekerjaan baginya. Lebih sial lagi pada 20 Juni 1863, nama Karl May sebagai calon pegawai negeri dicoret, sedangkan ijazahnya pun dibekukan. Itu berarti, kalau ingin mengulang profesinya sebagai pengajar, dia harus mulai dan menapak lagi dari nol.

Terpuruk di pojok kesialan serta terjerembab di lubang pengangguran, Karl May mulai beraksi lagi. Dia menggunakan keenceran pikirannya untuk membaca situasi, lalu mulailah dia melakukan pencurian kecil-kecilan dan menipu enteng-entengan. Misalnya Karl mengaku kepada seorang pemilik pabrik cuka, kalau dirinya itu bergelar Dr. Med. Heilig, serta mantan dokter mata militer dari Rochlitz. Kemudian Karl menyewa kamar, setelah itu – sekitar dua jam kemudian – Karl sudah memesan sebuah mantel bulu dari sebuah toko mantel dengan alamat barunya. Tak lama datanglah kiriman mantel itu. Sementara kurir pembawa mantel masih menunggui pembayarannya di muka rumah tumpangannya, Karl sudah minggat dengan mantel bulu itu lewat pintu belakang, kemudian raib bersama kereta api menuju Leipzig.

Tak lama kemudian, di Thomaskirchhof 12 hadirlah seorang pemuda berbadan kecil, yang mengaku sebagai ahli tata buku dan berniat menyewa sebuah rumah di sana. Tak sampai beberapa hari, pemuda yang ternyata Karl May itu sudah berulah dengan modus operandi serupa, yakni memesan barang mewah dan langsung raib bersama barang pesanannya, tanpa bayaran sama sekali. Induk semang di alamat baru Karl itu, kontan mengadukannya ke polisi dan sial sekali Karl kali ini tertangkap.

Untuk praktek penipuannya itu, Karl harus mendekam di kamar bui Lembaga Pemasyarakatan Osterstein, Zwickau, selama empat tahun (sampai 1868). Namun, pemuda Karl ini tidak juga kapok untuk menipu. Pengalaman di penjara tidak membuatnya jera, malah sepertinya ada semacam dorongan kuat dalam dirinya serta keinginan keras untuk “membalas dendam”. Hal ini terbukti !

Baru saja lima bulan menghirup udara bebas, Karl May malah makin nekat dan mengaku dirinya sebagai letnan polisi. Dia mendatangi seorang pemilik toko kecil di Wiederau, lalu dengan sikap tegas dan suara amat meyakinkan, Karl menyatakan mensinyalir adanya uang kertas palsu yang beredar di toko itu. Lalu dengan sigap “Letnan” May ini menemukan selembar uang yang dibilang uang palsu. Untuk itu, polisi tetiron ini meminta agar si pemilik toko menyerahkan semua uang kertas dalam lacinya, guna diperiksa lebih lanjut. Kemudian Karl merasa uang sitaan itu terlalu sedikit, dia pun lalu “menyita” sebuah jam silinder bersepuh emas dari toko itu, dengan alasan jam silinder itu pun sebagai barang curian.

Untuk meyakinkan pemilik toko, sang polisi palsu ini mengajaknya bersama-sama pergi ke kantor polisi. Tapi di tengah jalan, si pemilik uang “palsu” itu ditinggalkan sejenak. Tak lama, uang dan jam itu pun tidak pernah kembali, karena sang “letnan polisi” juga tidak pernah lagi terlihat lagi batang hidungnya.

Barang pendeta pun disikat

Pada bulan April 1869 (ketika berumur 27 tahun), Karl beroperasi lagi dan lagi-lagi menyaru sebagai polisi rahasia. Kali ini dia mendatangi seorang penjual alat-alat rumah tangga, lalu dengan keras menginstruksikan kalau dirinya sedang dalam tugas istimewa dan harus memeriksa uang kontan yang ada di sana. Karl pun dengan semena-mena menyita sebagian uang yang diperlihatkan pemiliknya dengan kilah sebagai barang bukti, kalau orang itu menyimpan dan mengedarkan uang palsu. Kepada pemilik uang “palsu”, Karl memerintahkan agar ikut dengannya ke kantor polisi terdekat, tapi di tengah perjalanan, Karl mengaku sakit perut dan permisi mencari WC umum. Sayangnya, sang pemilik terus menguntit sang “polisi rahasia”, sampai di muka pintu WC. Karl mulai kelabakan, tapi otak penipunya segera mengeluarkan suara ancaman, kalau si pemilik uang masih terus menguntitnya, maka Karl tak segan-segan menembaknya dengan senjata api. Gertakan ini manjur juga, sang pemilik uang menanti Karl di tempat agak jauh, sedangkan “polisi rahasia” yang sedang buang hajat besar itu pun kabur dan lenyap berikut uang sitaannya.

Berita penipuan ini cepat tersebar, malah wajah si penipu yang bertubuh tidak besar dengan janggut tipis kecoklatan dan rambut gondrong coklat di bawah topi lebar berwarna coklat, disiarkan dari mulut ke mulut. Maka ketika Karl “Penipu” May pada bulan April 1869 pulang ke rumahnya di Ernsthal, berita itu sudah sampai di kampung halamannya. Karl pun buru-buru hengkang dari rumah dan tetangganya. Dia melarikan diri ke Schwarzenberg, Bremen, dan kembali ke Sachsen. Namun pada bulan Mei, tahu-tahu dia muncul lagi di Ernsthal. Karl bukan mengetuk pintu rumah orang tuanya, tapi menuju rumah Pendeta Weisspflog.

Setelah basa-basi dan menjual cerita sedih, Karl dengan tega menyikat sebuah mobil mainan anak-anak, satu kap lampu, kacamata Pak Pendeta, sebuah tas kerja dan dua dompet. Namun aksi pencurian ini kurang sukses, sebab saat Karl sudah berhasil mencuri seekor kuda keluar dari kandangnya, lalu menuntun kuda curian milik pemilik kedai makanan dengan tenang, tahu-tahu pemilik kuda itu memergokinya justru di saat Karl May mau melego kuda itu ke tukang jagal !

Tercatat pada 2 Juni 1869, pukul 03.00, Karl tertangkap di Hohenstein dan dengan tangan terborgol ia dijebloskan petugas hukum ke Penjara di Wiederau, lalu dipindahkan lagi ke Werdau. Tak lama, terpidana Karl pun dipindahkan ke Penjara Muelsen St. Jacob. Di penjara inilah Karl dengan otak dan ototnya, berhasil melarikan diri dan lagi-lagi raib.

Pada 4 Januari 1870 masuk berita lagi, kalau seorang pencuri dikenal tertangkap di Algersdorf. Orang itu bernama Albin Wadenbach berasal dari Orby, Martinique, mengaku memiliki tanah pertanian warisan ayahnya, serta mengaku masih berkeluarga dengan beberapa nama terkenal di daerah itu. Akhirnya polisi Dresden meluruskan informasi ini, serta menerangkan kalau Albin Wadenbach dari Orby itu identik dengan mantan guru sekolah dan seorang penjahat berbahaya yang harus ditangkap dan aslinya bernama Karl Friedrich May !

Winnetou

Untuk sederetan kejahatan yang dilakukannya, Karl dijatuhi hukuman empat tahun di penjara kelas berat Waldheim (1870 – 1874). Empat tahun di Penjara Waldheim merupakan masa paling suram dalam hidup May. Mungkin untuk melewatkan waktu panjang di ruang berjeruji, Karl mengembangkan fantasinya, lalu benaknya kini subur dengan segala imajinasi obsesi tentang heroisme. Kepribadiannya kian aneh, sikap memberontak pada lingkungannya, makin mengembangkan daya imajinasi yang tak mungkin dihentikan lagi. Terhadap sesama narapidana, bahkan pada hakim yang mengadilinya pun, Karl sering membual dan bercerita hebat tentang masa lalunya, kalau dirinya itu seorang jagoan kelas kakap. Sebagai contoh, katanya, dia pernah melarikan diri dari Penjara Prags yang terkenal bersistem penjagaan paling keras dan ketat, dengan menyandera seorang sipir bui, lalu kabur dengan mengendarai kuda yang congklang berlari cepat.

Pada suatu malam di dalam selnya, Karl May, si narapidana no. 402 itu, untuk pertama kalinya bermimpi menjelajahi daerah Indian dengan mengendarai Swallow, kuda jantan hebat milik Old Shatterhand. Mimpi ini dikisahkan ke rekan napi lainnya. Karl sendiri lama-kelamaan makin terkenal sebagai napi bernomor 402 yang setengah gila dan amat suka berkhayal. Untung seorang penasihat rohani penjara, segera mendatangi dan menganjurkan agar segala lamunan plus bualannya itu, terutama tentang mustang bernama Swallow dan penunggangnya – si jago bertinju besi Old Shatterhand – supaya dikisahkan melalui tulisan tangan saja. Rupanya, nasihat ini amat mujarab.

Seketika itu juga, Karl May menemukan saat paling bahagianya, yakni saat menulis segala fantasi dan imajinasinya di ruangan penjara yang serba dijaga ketat. Tangannya kian lincah menerjemahkan ide yang meletup di benaknya, pikirannya kian menerawang jauh menembus waktu dan tempat. Dari penjara yang pengap dan hidup sebagai napi yang serba keras, si bandit bernomor induk napi 402 mulai melahirkan tokoh jagoan tiada tara yang nanti menaklukkan jutaan pembacanya.

Dia serta merta menghasilkan dua kerangka kisah panjang dengan sekitar 200 judul catatan. Karya napi ini rupanya sempat terbaca keluar, hingga memincut minat dan intuisi bisnis seorang penerbit dari Dresden, Heinrich Gotthold Muenchmeyer. Lamunan Karl May dan impian bisnis Muenchmeyer, akhirnya terwujud dalam kerja sama nyata setelah si napi 402 ini 10 bulan keluar dari Penjara Waldheim. Muenchmeyer tiba-tiba muncul di Ernsthal, merayu May dengan segala janji muluk keuntungan apabila dia diberi hak menerbitkan segala karya May.

Untuk awalnya, terciptalah sebuah novel panjang, Wanda. Mulai saat itu pun Karl diangkat menjadi redaktur penerbitan. Untuk lebih dekat dan serius, May kemudian pindah ke Dresden. Tapi baru seminggu berada di Dresden, kepolisian Leipzig memerintahkan agar selama dua tahun, penipu dan pencuri kelas berat ini harus tetap berada di bawah pengawasan polisi. Jadi setiap hari Karl harus melapor ke polisi piket, serta diharuskan juga melapor kembali ke Ernsthal. Keadaan ini membuat Karl cukup sedih, seperti yang tercermin dalam tulisannya ini: “…. Baru saja saya memperoleh kepercayaan dari atasan saya, serta baru saja tumbuh rasa kepercayaan diri dan harapan untuk hidup lebih baik, di mana saya berusaha memperbaiki seluruh kesalahan hidup di masa lalu, juga menumbuhkan rasa ingin maju. Namun di saat itu pula, saya tahu kalau dosa dan kesalahan saya begitu berat dan besar, sehingga amat mempengaruhi seluruh jalan hidup saya yang berada di simpang depan …..”

Biarpun begitu, Karl dengan tertib menyetor tulisannya untuk Muenchmeyer, juga ke beberapa kantor penerbit surat kabar lain. Tulisan perdananya, memuat kisah berkisar tentang negara-negara asing dan penduduknya, tentunya termasuk perampok berkuda yang dermawan !

Dalam Majalah Familienblatt, setelah dua tulisan perihal petualangan seorang tokoh bernama Old Firehand, Karl kemudian untuk pertama kalinya menuliskan kisah tokoh besar bernama Winnetou, si putra Apache yang trengginas dan pintar sebagai anak alam tanah Amerika. Kisah itu begitu hidup, Karl May mampu menuturkan segala kejadiannya begitu hidup, seakan-akan menulis kepribadiannya dan pengalaman hidupnya sendiri. Oktober 1875, itulah bulan yang menjadi tonggak nyata, bukan hanya bagi May, tapi juga bagi jutaan pembaca Jerman! Sebuah mitologi baru telah lahir, seekor kuda Pegasus yang luar biasa tampil untuk pertama kalinya, yakni Swallow si kuda mustang – tunggangan jagoan tangguh bersenapan galak bernama Old Shatterhand, yang nanti menjadi saudara sedarahnya Winnetou.

Dituduh membunuh kaisar!

May betul-betul menemukan hidup barunya. Kemahirannya menurunkan segala buah pikiran – termasuk tentunya imajinasi dan fantasinya – kian liar macam Swallow si mustang yang mampu congklang di atas rerumputan semak prairi. Kata demi kata menjadi kalimat dan disambung rangkaian kisah panjang yang benar-benar menjerumuskan rasa penasaran pembaca kisahnya.

Pertengahan musim panas 1876, karena sering bolak-balik Ernsthal – Hohenstein, mampir di rumah saudara perempuannya, Christiane Wilhelmine, si bujangan berusia 34 tahun itu berkenalan dan jatuh cinta pada seorang gadis manis yang 14 tahun lebih muda, Emma Lina Pollmer, putri seorang tukang ckur. Karl dan Emma pun menikah pada tanggal 17 Agustus 1880. Perkawinan ini membawa dampak, yakni hubungannya dengan Muenchmeyer terputus, karena penerbit ini sebetulnya sudah lama mengincar May untuk dijodohkannya dengan adik perempuannya.

Waktu pun berjalan terus, Karl yang sudah tobat ternyata terpaksa menggunakan lagi “ilmu kunonya”: menipu ! Saat itu, ketika salah seorang paman istrinya tewas secara misterius di dekat sebuah kandang kuda, Karl yang sudah terkenal sebagai pengarang kisah wild west tahu-tahu berulah lagi. Dia mengaku sebagai jaksa agung, lalu mengusut di sebuah rumah makan untuk mencari sebab-musabab kematian misterius itu. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya dia diganjar hukuman penjara, Karl masuk bui di Hohenstein selama tiga minggu. Bahkan namanya makin cemar lagi, karena dia pun dituduh sebagai pengikut partai demokrat yang pernah dua kali mengadakan percobaan pembunuhan terhadap kaisar Jerman !

Jengkel akan vonisnya itu, “bapak” Old Shatterhand dan Winnetou yang tinggi tubuhnya cuma 1,66 m itu makin berpikir keras menciptakan tokoh pahlawan yang lebih hebat dan kuat, untuk mewakili rasa jengkelnya. Maka hadirlah Old Shatterhand, jagoan Jerman berasal dari Sachsen, mampu malang melintang di prairi Amerika dengan senjata “pembunuh beruang” bikinan Henry. Senapan ini pun difantasikan begitu hebat, sebab magasinnya mampu memuntahkan tembakan 24 peluru sekaligus berturut-turut. Larasnya terbuat dari baja istimewa. Walau mencurahkan begitu banyak peluru panas yang berkecepatan tinggi, tapi laras itu takkan kepanasan dan loyo. Juga Old Shatterhand (termasuk Kara Ben Nemsi) ini selain bersenapan ajaib, juga hanya bermodalkan kepalan bogem mentahnya yang dapat melibas pingsan musuhnya dengan sekali hantam, atau cukup dengan sekali tonjokan musuh pun jatuh bertekuk lutut sambil terkaing-kaing bilang tobat !

Tokoh-tokoh Karl May demikian perkasa, sebagaimana yang diingini dirinya maupun pembacanya juga. Tokohnya selalu berdarah Jerman dan tak terkalahkan, walau bertualang jauh di seberang kampung halamannya, keluar-masuk tanah bergurun pasir atau prairi liar milik orang Indian ganas, namun jagoannya tetap hebat. Dari bukunya saja, kaum pembaca karya May seakan-akan tersihir dan merasa dirinya masuk ke diri tokoh jagoan khayalan May. Misalnya saja saat Karl menggambarkan Old Shatterhand dengan menyandang bedil penumpas beruang disertai belati besar setajam silet, sambil menunggang Swallow dia malang melintang di sela desingan peluru dan anak panah maut, tapi selamat dan tetap perkasa. Juga Karl yang menciptakan Winnetou. Winnetou yang masyhur dengan senapan yang berhias taburan tancapan 254 paku perak, begitu fasih dan lihai bekerja sama dengan Old Shatterhand, memburu segala macam seterunya sampai ke ujung prairi atau pucuk bukit keramat sekali pun. Malah Karl mampu menggelitik pembacanya dengan penyajian tiga serangkai pemburu tua, serta pembaca jejak di prairi pimpinan Sam Hawkins yang serba kocak.

Justru apa yang digambarkan Karl terhadap tokohnya yang selain hebat perkasa, juga teramat bajik dan selalu memusuhi kejahatannya. Pribadi Karl sendiri sebetulnya bertolak belakang, dia sudah merasa capek untuk menjadi orang baik, apalagi tokoh Jerman yang terhormat !

Senjata hebat buat tentara Jerman
Setelah mantap, Karl bersama istrinya Emma, pindah ke Dresden. Pengarang masyhur ini tak lupa membuat kartu nama, tak kepalang tanggung dengan embel-embel gelar “Dr.” di depan namanya. Karl tetap Karl yang jahil otaknya, setiap dia menandatangani wesel, selalu lupa membayar. Dia pun dengan taktis tak pernah mencantumkan alamat baru pada penggemarnya, bila dia pindah tempat. Mungkin ini salah satu “tipuan” lagi dari May, agar penggemarnya yakin kalau dia selalu bertualang untuk menemukan pengalaman baru, bagai kisah dalam cerita-ceritanya yang selalu dinyatakan sebagai pengalaman bermuara dari keringat dan darahnya sendiri.

Buku-bukunya: Mustang Hitam, Di Kurdistan, Winnetou, Rahasia Bison Putih, Old Shatterhand, Sudut-sudut Balkan, Di Tanah Mahdi dan banyak lagi, merupakan kejadian di tahun sembilan puluhan abad lalu yang menjembatani dirinya menjadi penulis terkenal. Tak heran bila di zaman susah itu, Karl justru sedang banyak duit. Apalagi ketika buku-buku roman perjalanannya seperti Pertemuan Old Shatterhand dengan Winnetou (di mana Old Shatterhand merupakan personifikasi Karl May) dan kisah lanjutannya, diberitakan panjang lebar dalam brosur khusus penerbitan buku Fehsenfeld, membuat namanya meroket sebagai pengarang kontroversial yang mengundang opini pro dan kontra. Apa pun yang terjadi, terjadilah ……..Karl May makin ngetop di zamannya.

May juga memanfaatkan kesempatan ini, untuk mengkatrol lebih tinggi ketenarannya. Dia tak pernah menolak diwawancarai, malah di saat itu pun (kala alat fotografi masih baru), Karl dengan senang hati akan memperagakan pose-pose khas Karl May yang meniru habis-habisan gaya Old Shatterhand atau Kara Ben Nemsi. Misalnya Karl menulis begini : “Kalau penggemar buku saya mendesak meminta foto-foto, saya akan persilakan salah seorang pemuja itu, tentu saja seorang fotografer, untuk datang dan membiarkan dia mengambil foto diri saya sesukanya, sampai dia bosan dan bahkan pernah sampai ada yang menghasilkan sekitar 101 foto, lalu dia menerbitkan dan mempublikasikan ke mana-mana, biarlah ……”

Benar juga ! Pada tanggal 24 Juni 1896, Karl menandatangani kontrak sebesar 2.700 mark, lalu pada bulan Desember terbitan perdananya diresmikan dalam bentuk buku. Kartu undangan pun dibuat dan disebarluaskan. Karl May yang selama ini dalam status “inkognito”, kini hadir dalam wujud seorang manusia baru yang tampil dengan “laso dan kalung berhias taring beruang”: Dr. Karl May yang dikenal sebagai Old Shatterhand, ternyata kini bermukim di Radebeul-Dresden, tepatnya di Vila Shatterhand. Begitu bunyi publikasinya.

Memang di zaman keemasannya, May mampu membeli sebuah vila bergaya art nouveau di Kirchstrasse 5 di Radebeul yang dinamainya “Vila Shatterhand”. Rumah itu dipenuhi hiasan benda kenang-kenangan yang seakan-akan menggambarkan benda itu semua diperoleh di saat melakukan petualangannya. Di seluruh dinding ruangan vilanya yang luas, tergantung penuh bulu binatang awetan, pisau dan pedang. Ahli pembuat senapan Fuchs dari Koetscherbroda, khusus menciptakan senapan pesanan May sesuai deskripsi dalam kisahnya, misalnya ada senapan besar dengan nama “Penumpas Beruang”, “Henry” atau pun “Si Paku Perak”. Di samping meja tulisnya pun berdiri seekor singa awetan.

Dalam suatu kesempatan ceramah dan jumpa pengagumnya, si cebol Karl May tetap saja membual tentang si penunggang kuda berkaki bengkok yang memacu sambil berdiri di atas punggung kudanya. Dia pun dapat menjelaskan dengan lisan dan menarik sekali, sampai-sampai membuat pembaca bukunya terpukau ketika May mengisahkan betapa asyik dan seramnya menunggang kuda liar, si Swallow yang dipacu secepat kilat di padang prairi. Karl – pun – entah dari mana belajarnya – mampu mengutip seruan dan kata-kata khas Indian, entah itu suku Apache, Kiowa, Sioux dan lainnya. Malah dia mampu menggumamkan lantunan mantera suci dukun dan peramal Indian untuk memanggil hujan dan mengusir setan penyakit. Bahkan dia dengan jumawa mengisahkan pernah menolak permintaan orang Apache, saat Karl mau diangkat sebagai kepala suku Apache !

Sedangkan senapan buatan Henry yang begitu ampuh memuntahkan 24 peluru, serta sekali tembak dapat mencabut nyawa beruang grizzly pun, sekali waktu pernah diperlihatkan di muka kaisar Jerman. Akibatnya, senjata penumpas itu didaulat menjadi senjata resmi Angkatan Perang Jerman !

Juga Karl makin nekat saja, walau sebetulnya dia hanya bermodalkan bahasa Inggris yang terpenggal-penggal, namun dalam suratnya kepada seorang wanita ningrat Jerman, Karl mengaku kalau dirinya ini menguasai 30 bahasa asing beserta dialek-dialeknya. Nah, begitu kuatnya daya khayal yang merasuk lelaki ini, sampai-sampai Karl sendiri tidak bisa membedakan lagi mana yang nyata, mana pula yang tidak.

Misalnya sekali waktu, Karl May selain berfoto dengan busana khas penjerat binatang, lengkap dengan laso dan topi prairi, tapi juga berfoto dengan segala macam persenjataan Winnetou, termasuk senapan “Si Paku Perak”. Padahal, dalam bukunya dia menceritakan kalau senapan tersebut ikut terkubur bersama jasad Winnetou. Namun, Karl dengan keenceran fantasi dan kelihaiannya bersilat lidah, masih menjelaskan kepada pembacanya yang keheranan melihat masih adanya senjata itu. Maka dalam jilid buku selanjutnya dia menjelaskan kalau dia sudah menggalinya, kemudian mendapatkan kembali senjata itu, ketika dia memergoki kelompok Indian Sioux yang sedang membongkar kuburan Winnetou.

Idiot yang tidak tahu malu
Hasil seluruh karyanya yang teramat fantastis, tak urung mengundang segala kritik pedas, termasuk kritik yang menyudutkan kalau dirinya itu amat bermulut besar. Surat kabar Frankfurter Zeitung dengan gamblang mencacinya sebagai manusia campuran antara orang yang kekanak-kanakan dan manusia idiot. Bahkan beberapa pejabat wali gereja mencela dan mengkomentari kalau buku-buku romannya yang terbitan dahulu itu, terlalu erotis. Namun di samping semua itu, Karl May terutama dikecam karena kelancangan atau keberaniannya menggambarkan negara-negara asing yang sama sekali belum pernah dikunjunginya.

Pada suatu titik puncak kampanye untuk membuktikan keotentikan tulisannya, Karl May mengambil jalan amat brilian untuk menumpas kritik pedas itu. Dia pun segera melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang pernah tertulis dalam bukunya. Tentu saja, perjalanan ini bukan menunggang punggung keledai, unta atau kuda liar lagi, namun dia tiba di sana seperti pelancong kaya raya, duduk enak-enakan di atas kereta api atau kapal laut mewah.

Jadwal perjalanannya yang pertama adalah Mesir, Palestina dan Sri Lanka. Walau dalam trip itu dia selalu menderita disengat panas dan digigit serangga, bahkan pernah Karl terserang diare, tapi fantasinya tetap saja mengalir deras. Sehingga Erich Loest yang menyertai perjalanan jagoan ini menulis surat ke Jerman dan berkata : “…..belum sepuluh langkah Karl May keluar dari WC, dia sudah melaporkan kalau di Sri Lanka dia telah menemukan tambang emas yang selama ini belum pernah diketahui orang …..”

Sekembalinya dari Mesir, Karl May menceraikan Emma yang selama ini hubungannya sudah tidak harmonis lagi dengannya. Dia kemudian menikahi seorang janda temannya, Klara Ploehn yang sejak beberapa tahun ini bekerja sebagai pengurus surat menyurat May. Bersama Klara, untuk pertama kalinya dia mengadakan perjalanan ke Amerika, ke daerah reservasi orang Indian. Antara lain dia mendatangi daerah Buffalo, serta Forest Lawn Cemetery tempat kepala suku Sa-go-ye-wat-ha dan pengikutnya dulu bermukim. May yang sangat terkesan dengan tokoh Indian ini, hingga membuat dia merevisi tokoh Winnetou yang dianggap personifikasi dari dirinya. Lalu May beserta rombongannya juga berpiknik ke daerah reservasi orang Indian Tuscarora. Di sana May membuat foto bersama kepala sukunya, lalu ia menyempatkan pergi ke Toronto dan daerah-daerah wild west yang terkenal, seperti Colorado, New Mexico dan Arizona.

Hasil muhibahnya ke tanah Indian di Amerika Serikat, membuat fantasi dan imajinasi May memekar lagi. Dia kini berniat membuat buku baru yang ada hubungannya dengan perjalanannya semua itu. Kalau tadinya May hanya ingin “mempelajari” keotentikan orang Indian, ide itu akhirnya tersingkir. Dia malah mendapat “teori” baru. Katanya,”…..untuk menciptakan ras Indian-Jerman baru, harus ditemukan entah di mana di kawasan Atlantik ini yang merupakan prototipe Winnetou ……..”

Selama melakukan tur ke Tanah Indian ini, anehnya Karl tidak mengenakan pakaian ala penjerat cerpelai atau pemburu bison, justru Karl mengenakan setelan celana gelap dengan jas berompi, menutupi kemeja putih dengan leher baju kaku, serta berselempang syal warna-warni.

Tapi perjalanan menyeberangi lautan luas ini, untuk sementara dapat membuat dirinya melupakan masalah-masalah yang dihadapinya di Jerman, sampai di ujung akhir hayatnya sekalipun. Misalnya saja, gelar “doktor”nya ini kemudian ditolak pengadilan. Juga musuh utamanya, Rudolf Lebius, seorang penerbit kaya yang kemudian mempublikasikan data hukuman-hukuman yang pernah dijalani May, bahkan Lebius dengan terbuka menyebut May tak lain tak bukan hanyalah “penjahat ulung” dan “perusak kaum muda”.

Ketika Karl menggugat cacian kejam ini di muka pengadilan, seorang reporter pengadilan melaporkan peristiwa ini dengan judul sinis :”Old Shatterhand Dikuliti”. Sedang surat kabar lain menyebut doktor palsu Karl May hanyalah “kepala perampok” dan “pemerkosa kesusatraan”.

Tapi di antara orang-orang yang mencaci May, masih ada juga yang membelanya. Dua tahun sebelum ajalnya, seorang wartawan bernama Egon Erwin Kisch menurunkan tulisan yang bernada membela May. Dia menggambarkan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan May itu sebagai “kekeliruan di masa muda” saja. Begitu juga kenakalan penulis ini mengenai kisah fiktif yang penuh petualangan itu, “dimaafkan” oleh Kisch. Soalnya, menurut Kisch, sejak berusia 14 tahun, dia dan kawan-kawan sekolahnya memang sudah tahu kalau kisah-kisah petualangan May itu, hanyalah khayalan.

Karl May memang bukan macam Dante, namun Karl May bisa disebut sebagai “Shakespeare kaum muda” , kata seorang filsuf Ernst Bloch. Dengan bantuan atlas, leksikon, kamus, bahan penelitian, ilustrasi dan foto-foto, May mampu mendeskripsikan suatu negara eksotis di abad 19, berikut alam gersang gurun pasir atau prairi yang kejam, padahal dia sendiri belum pernah ke sana !

Karl May yang hidup di zaman kekaisaran, serta bergaya tulisan yang berbunga-bunga, tentunya memang tak cocok dan hanya membuat ngantuk pembaca zaman sekarang. Dalam sekitar 6.000-an halaman buku, pada tulisan Karl May memang banyak ditemukan hal yang tidak masuk akal bagi mata orang Eropa. Misalnya saat May memihak orang Indian Amerika dan membantu perjuangan pribumi Amerika itu menghadapi perampok tanah yang semuanya berkulit putih.

Namun, apa pun yang diperdebatkan orang mengenai nilai kesusastraan buku-buku Karl May, atau kisah isapan jempol tentang Old Shatterhand, Kara Ben Nemsi, Hadschi Halef Omar dan Winnetou yang angkuh itu, mereka sudah terlanjur menjadi tokoh literatur dunia. Hampir setiap tahun, karya May yang sudah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa di dunia itu, selalu saja mengalami cetak ulang. Di mana saja, sampai kini pun masih ada saja yang menyukai Old Shatterhand, Winnetou atau Kara Ben Nemsi, tanpa mau tahu kalau tokoh jagoan itu sebetulnya dilahirkan oleh “bandit” bernama Karl Friedrich May yang bergelar doktor palsu.

Di penjara pun Tetap Membual
“Sudah berapa kali kamu ditangkap ?”
“Tiga kali, Pak.”
“Bukan lima kali ?”
“Sebenarnya ……”
“Bukankan Anda sudah dua kali dibebaskan ?”
“Benar, Pak.”
“Berapa kali kamu pernah melarikan diri ?”
“Tidak pernah, Pak.”

Melarikan diri ? Justru dari interogasi dan kata “melarikan diri” itu, membuat May mendapat inspirasi baru. Lalu berkembanglah di fantasinya, kalau seorang jagoan yang kabur dari penjara bawah tanah, cukup dengan menyandera seorang sipir bui, lalu menyumbat mulut dan menyeret petugas penjara ini, turun dengan tali dari tembok tinggi. Setelah itu, Karl membayangkan dirinya bebas dari penjara dengan menyandera sipir bui, lalu tak seorang petugas pun berani menembaknya. Di luar sana sudah menanti kawan-kawannya dengan dua ekor kuda cadangan. Bebaslah sang jagoan tanpa pertumpahan darah, dia kembali bertualang membela kebenaran di jalan yang penuh kejahatan.

Kepala penjara itu membalik-balikkan berkas dari map bernomor 402. Di situ tertera kalau si napi no. 402 adalah seorang penipu, pencuri, tapi bukan perampok. Si 402 itu suka membual dan mengumbar cerita kosong, jadi napi ini menurutnya memang berbeda dengan penjahat lainnya yang mendekam di sana. Pak kepala kemudian berubah pikirannya, dia menganggap Karl May yang pembual ini berbahaya. May dikenakan hukuman ekstra, delapan hari meringkuk di ruang !

Dicerca Namun Dihormati
Sejak Karl May dikenal sebagai penulis produktif dari balik penjara, hampir seminggu sekali dia didatangi seorang wakil suatu penerbit sambil membawakan kertas dan mengambil alur cerita yang sudah ditulis May. Malah si no. 402 ini lama-kelamaan seperti sudah setengah dikontrak penerbit Muenchmeyer dari Dresden.

Kehidupan membosankan di penjara dan kamar bui, mewajibkan May mengisinya sepadat mungkin dengan kefasihannya menuliskan segala fantasi ke atas kertas. May begitu lancar menurunkan kalimat imajinasinya tentang tokoh-tokoh petualangan keras, di suatu tempat nun jauh dari Jerman di suatu prairi atau padang pasir yang dia sendiri tak tahu macam apa. Namun di sinilah kehebatan May, lamunannya menjadi kenyataan dalam kisah heroik yang nantinya amat mencandui segala pembacanya, hebatnya pula, sampai-sampai Old Shatterhand dan Kara Ben Nemsi itu dianggap personifikasi dirinya.

Di sela malam sepi yang penuh laknat, Karl May sering jatuh dalam kesedihan kalau mengingat masa kecilnya yang jauh dari kebahagiaan. Dia ingat kalau dirinya bertubuh kecil, selalu loyo dan kurang sehat dibandingkan dengan kawan-kawan semasa kanak-kanaknya dulu. Karl kecil selalu dianggap lamban dan sering tak diajak bermain “polisi dan perampok”. Pernah Karl nekat dan ikut bermain, tapi dia segera diusir dan ditimpuki kayu dan lumpur. May juga masih menangis, kalau ingat dirinya yang ringkih pernah dicampakkan ke luar dari warung dan terbanting ke tumpukan tahi sapi oleh seorang kakek berumur 70 tahun !

Akhirnya tibalah hari besar, seminggu lagi May akan bebas. Dia sudah mengumpulkan barang-barangnya, termasuk 200 gulungan kertas, 80 di antaranya sudah sarat tertulis bagan kisahnya yang bakal menghebohkan dunia.

Jadilah Karl seorang penulis mahir dan terkenal dengan menyandang gelar doktor buatannya sendiri. Dari otak dan tangan mantan bandit ini, mengalir terus dengan derasnya serial dan jilid-jilid kisah petualangan yang amat mencekam. Sampai kini, di peringatan 150 tahun Karl May, dunia kepustakaan masih menghargainya sebagai salah satu fenomena unik. Karl May yang banyak dicerca dan digunjingkan, kenyataannya tetap dihormati. Paling tidak di Jerman sendiri, sampai kini masih ada Yayasan Karl May (yang membantu pengarang miskin), serta Museum Karl May di Radebeul dan teater terbuka Karl May Freilichtspiele di Bad Segeberg.

Karl pun Kawin dan Kawin Lagi
Pada suatu hari, adik perempuan May, Wilhelmine, memperkenalkan May pada empat orang kawannya yang ingin berkenalan dengan May, si penulis yang redaktur. Salah seorang pengagumnya itu adalah Emma Pollmer, seorang gadis berumur 20 tahun yang tinggal bersama kakeknya, Barbier Pollmer, seorang pemangkas rambut. Emma, gadis bermata coklat dengan bulu mata lentik dan beralis tebal,, rupanya ingin dijodohkan Wilhelmine dengan kakaknya yang saat itu sudah berumur 34 tahun.

Pada pertemuan kedua kalinya, Emma menyatakan kekagumannya pada tulisan May di sebuah majalah keluarga, tentang kisah orang Indian. Keesokan paginya, May mendapat kunjungan kakek Emma, si tukang pangkas rambut, Pollmer. Kedatangannya itu bertujuan mengenal May, calon suami cucunya, lebih dekat. Tapi rupanya si kakek kurang tertarik, karena calon cucu menantunya ini hanya penulis yang nasibnya tidak jelas.

Waktu berjalan lagi dan May terus menulis. Pada suatu hari Natal, May dan Emma berjumpa lagi. Mereka sempat banyak bicara dan berupaya saling mengenal lebih dalam, sementara Emma masih takut dipergoki kakeknya yang tak suka kepada May. Akhirnya sebelum tahun baru, May menulis surat untuk Emma, menyatakan rencananya untuk menikahi gadis itu. Hubungan Emma dan May makin intim, akhirnya bocor dan diketahui si kakek Pollmer yang langsung naik pitam, kemudian mengejek May dan melecehkan apakah May mampu menghidupi Emma nantinya. Hal ini mengakibatkan timbulnya pertengkaran antara Emma dan kakeknya. “Pergi kamu dari rumah ini !” Keesokan harinya Emma memang benar-benar minggat, tak lama kemudian Emma menikah dan menjadi istri pertama “Dr.” Karl May.

Hubungan suami-istri ini mulai meretak, terutama setelah May makin kebanjiran uang akibat kisahnya tentang pria Jerman asal Sachsen yang menjadi jagoan di mana-mana, bisa di Kurdistan, di Balkan, Afrika atau sampai ke Amerika sekalipun. Emma mulai sering tidak berada di rumah. “Kalau sedang menulis, dia tak memperhatikan saya lagi. Kadang kala saya pun sampai tidak berani bicara sama Karl,” ujar Emma kepada kawannya. Beberapa tahun kemudian, Karl dan Emma datang ke suatu pesta, lalu berjumpa dengan Klara Ploehnt yang nanti dijadikan sekretaris Karl. Lama-kelamaan, Klara pun disunting Karl sebagai istri keduanya.
Seperti yang tercantum di Intisari, dan beberapa sumber. Tulisan itu muncul dalam rangka 150 tahun Karl May di 1992. Tulisan-tulisan tersebut mewakili pandangan tradisional orang Jerman terhadap May. Namun penelitian terakhir justru menunjukkan data dan kesimpulan yang berbeda. Dengan telaah empiris berdasarkan data-data yang ada dan kemudian dipelajari para scholar, disimpulkan hasil yang sebaliknya. Dengan demikian banyak data di tulisan ini yang salah dan hanya berdasarkan mitos belaka. Namun demikian, meskipun May telah membalas tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar itu dalam otobiografinya di 1910 -dua tahun sebelum meninggal- ada juga hal-hal yang sengaja atau tidak sengaja masih disembunyikan oleh May.

July 27, 2008

Pendidikan Dasar WANADRI

PDW? gaya outbond? PDW yang aneh...
pelatih walkout? pelatih yang aneh...
gak terlibat? Wekdut yang aneh...

PDW adalah salahsatu agenda utama dalam perhimpunan. Disiapkan dengan kucuran keringat, darah, dan airmata (he..he..). Diskenariokan melalui perdebatan yang pelik. Didukung oleh personal berdedikasi dan integritas yang tinggi. Dipenuhi oleh generasi yang siap dibangunkan jiwanya untuk bangsa.

Sebagai perhimpunan yang selalu mawas dan sadar diri, W telah melakukan ikhtiarisasi internal dalam konsep rekruitmen anggota. Perlu waktu yang panjang untuk proses ini, tentunya dikaitkan dengan kebutuhan pengembangan perhimpunan. Perlu kesepakatan untuk menyiapkan aturan main dan kesediaan untuk mematuhinya.

Komentar miring? walkout dari areal latihan? gak terlibat?
Salahsatu bagian dari rangkaian proses ikhtiarisasi untuk menuju W yang dewasa, karena:

Hatiku padamu Baktiku bagimu Jasamu abadi...

July 24, 2008

liefje...
mengejarmu adalah garis mati yang mengikatku dalam
satu purnama
sebentar rembulan lalu tenggelam kini karang
tapi di mimpi kau menjelma berbagai lukisan
goresan rembulan mencipta warna
seribu malam satu tatap mata
aku butuh bintang bagi layar dan perahu

lampion-lampion itu cahaya senyummu yang menyala
ada cemara dan pohon bakau
dimana dermaga hanya kau sebagai penanda

July 22, 2008

liefje, ik hou van jou...

Aku tulis namamu di langit
tapi awan menghapusnya.
Aku tulis namamu di pantai
tapi ombak menghapusnya...

Izinkan Aku!
untuk tulis namamu di hatiku,
biar tak akan ada lagi
yang bisa menghapusnya...

Pluralisme Hablumminannas dalam konteks Hablumminallah


Irshad Manji. Pernah dengar nama itu? Baru 30 menit yang lalu gue baca buku--yang konon ditulis oleh seorang muslimah lesbian (tapi plural banget)--isinya cuma siratan dalam 1 kalimat: 'Pluralisme hablumminnas dalam konteks hablumminallah'.

Dalam "The Trouble with Islam Today" (Edisi terjemahan berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut”, oleh Herlina Permata Sari). Dia banyak mengulas hubungan antar manusia yang didogma oleh kungkungan konsep agama. Tentang kebebasannya berfikir dan berijtihad tentang realita kehidupan beragama, juga tentang kebebasannya bertindak atas dasar reformasi muslim dan keberanian moral. Hal yang paling peka dalam kehidupan beragama pasca Rasulullah SAW mangkat.

Tiga minggu setelah penerbitannya (k.l. 5 tahun y.l.), buku tersebut menduduki puncak jumlah penjualan buku terbanyak. Para tokoh Islam pun pada akhirnya menyadari bahwa orang-orang tidak membutuhkan persetujuan mereka untuk membaca buku ini. Bahkan, akibat begitu kerasnya mereka mengutuk buku ini, banyak orang yang malah memutuskan untuk mulai membacanya. Para tokoh Islam itu pada akhirnya terpaksa melibatkan diri mereka dalam perdebatan–-yang sebelumnya mereka kira bisa diabaikan begitu saja mengingat merekalah yang selama ini menentukan apa yang otentik dan apa yang tidak otentik. Faktanya, orang-orang mulai membaca gagasan-gagasan dalam buku itu serta tak peduli dengan pendapat para tokoh tersebut. Lebih jauh lagi, semakin banyak yang mulai melibatkan diri dalam perbincangan mengenai pembaruan Islam, bahkan tanpa persetujuan dari para ulama.

Banyak kaum muda Muslim mengungkapkan via e-mailnya bahwa mereka sebelumnya merasa tidak akan mungkin mengemukakan isu-isu tersebut di rumah, madrasah ataupun masjid. Mereka pun bakal dikecam gara-gara mendiskusikan gagasan-gagasannya dan mengutarakan pendapat mereka secara bebas.

Setelah buku itu terbit, Irshad Manji menerima banyak e-mail dari kaum muda Muslim di Timur Tengah yang memintanya untuk menerjemahkan buku itu ke bahasa Arab dan memuatnya di website. Sehingga mereka bisa membaca buku ini secara pribadi dan aman. Mereka mengatakan, “Kami mungkin saja tidak bersepakat dengan poin anda, namun paling tidak kami dapat memperdebatkannya begitu kami mendapat akses menuju informasi tersebut.” Para pemuda itu benar-benar menginginkan perdebatan yang sejujurnya mengenai Islam.

Akhirnya, selain ke bahasa Arab, buku tersebut juga diterjemahkan ke bahasa Urdu dan Persia. Di Iran, buku ini dilarang total. Delapanbelas bulan kemudian, terjemahan Arabnya telah didownload sekitar setengah juta kali, yang mengindikasikan adanya dahaga untuk meliberalisasi pola pikir kaum Muslim. Sayangnya, tidak banyak yang berani bersuara secara terbuka dan nyaring. Ketakutan untuk berbicara terbuka tidak hanya terjadi di dunia Islam tradisional, namun juga di Amerika Serikat – di kalangan anak muda Muslim kelahiran Amerika yang masih saja bergumul dengan pengaruh budaya tribal Arab yang diterapkan oleh keluarga mereka.

Dalam wawancara oleh JIL, dia berujar: "...Pengetahuan kita amatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa berlagak laiknya Tuhan. Hanya Tuhan lah Tuhan. Sementara kita di atas bumi ini harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat di mana kita dapat berbeda, berdebat, dan bertentangan satu sama lain secara damai, beradab dan tanpa rasa takut. Jika kita melakukan itu, berarti kita sedang memuja Tuhan, karena dengan demikian berarti kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran mutlak..."

Memang, sebuah ide dan pemikiran, sebaik-baiknya ide dan pemikiran itu akan terbuang dalam crash bag secara percuma. Terutama bila dikaitkan pada keengganan untuk berfikir dan berijtihad...

Salut, pada sikap yang tidak hanya mau menunggu tanpa harus mau bersinggungan dengan resiko sekecil apapun.

July 19, 2008

I K H L A S

Empat tahun silam, titik patok kebuntuan hidup mulai ditancapkan. Ketika Yang Mulia Ibunda pergi menghadap kehadirat-Nya, kebuntuan hidup yang terbawa hingga tersadar selama 4 tahun ke depan. Tak ada keikhlasan kah? Dua minggu yang lampau, ketika sang Bintang Timurku melangkah ingin maju. Pergi meninggalkan diri sunyi sendiri. Sampai pada waktunya, sang ikhlas datang mendekat. Tak kuasa untuk menolak...

Amal adalah ibarat tubuh, sementara ikhlas adalah ruhnya, Setiap jasad tanpa ruh di dalamnya adalah bangkai belaka. Sayangnya hal yang paling sedikit diturunkan dari langit ke bumi adalah keikhlasan, ia adalah salah satu rahasia Allah yang dititipkan pada seseorang yang telah dipastikan akan mendapat keistimewaan dan pertolongan-Nya.

Jujur adalah pokok dan ikhlas adalah cabangnya. Maka kadar keikhlasan seseorang sebanding dengan kadar kejujurannya. Jika seseorang hendak dikarunia Allah kebaikan, maka didasarinya amal dengan kejujuran dan mencampurnya dengan keihklasan.

Tangan orang ikhlas sesungguhnya mengetuk pintu Allah dan kakinya sedang mendaki tangga inayah, harga dirinya sangatlah tinggi di hadapan Allah, meski mata kasar tak dapat menilainya. Allah tidak akan memuliakan seorang hamba di dunia dengan ikhlas tanpa menyediakan kehormatan dan kemuliaan yang dengannya ia dikenal di hari akherat.

July 12, 2008

T H E R E D M A R S: Gue Redmars. Lu Siapa?

T H E R E D M A R S: Gue Redmars. Lu Siapa?

The Redmars...

Gak ada yang istimewa dari sang The Redmars sendiri. Selain: "Daring, bold and courageous, energetic, enterprising, spontaneous and active, clear thinking"...

Benarkah tasawuf itu tidak ada pada zaman Rasulullah SAW?

Abul Hasan Al-Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan Al-Bisri (w. 110H./728 M.) mengatakan: “ Pada zaman Rasulullah SAW., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.” Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan untuk judul posting ini. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah SAW.

Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasul SAW. seperti sikap Zuhud, Qona’ah, Taubat, Ridha, Shabar, dll. Nah, kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf. Seperti dalam perkuliahan, ada yang disebut Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dll. Nah, kumpulan materi perkuliahan ini kemudian disebut MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum).

Oleh sebab itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawuf, beliau tidak memberi nama kitab itu dengan Kitaab At-Tasawuf. Akan tetapi, beliau memberi nama kitab itu dengan Kitaab Az-Zuhud (Kitab tentang Zuhud). Kalau kita cermati isi kitab tersebut, hampir seluruh isinya membicarakan persoalan-persoalan yang ada dalam kajian tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dll. Anda boleh (tidak termasuk bid’ah) memberi nama untuk sederet istilah itu dengan nama Tasawuf.

Yang pasti, materi yang di bahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Adapaun makna Tasawuf, kita bisa lacak dari asal-usulnya. Para ahli mengatakan bahwa: 1. Tasawuf berasal dari kata “As-suuf” artinya bulu atau kain wol yang kasar. Kemudian kata As-Suuf diberi akhiran “ya” (As-Suufiya) yang dinisbahkan kepada orang yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kesederhanaan. Lawan pakaian sutera yang merupakan simbol kemewahan. Kemudian seseorang yang lebih mengutamakan kesederhanaan disebut Sufi. 2. Tasawuf berasal dari kata Ahl-Shuffah yaitu sekelompok shahabat miskin yang hijrah ke Madinah dan tidak memperoleh tempat tinggal. Sehingga Rasulullah saw. menempatkan mereka di serambi masjid. Tempat itu dinamakan Suffah, sedangkan para penghuninya disebut Ahl-Shuffah. Dari kata Suffah inilah lahir kata Tasawuf. 3. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophos. Theo artinya Tuhan dan Sophos artinya hikmah.

Dengan demikian Tasawuf berarti hikmah ketuhanan. Pada umumya yang berpendapat demikian adalah para orientalis. Dalam perkembangan berikutnya, para ahli memberikan banyak definisi mengenai hal ini, sehingga Annemarie Schimmel mengatakan, sulit mendefinisikan tasawuf secara komprehensif, karena kita hanya bisa menyentuh salah satu aspeknya saja. Walaupun susah mencari makna yang komprehensif, namun kita perlu mengutip salah satu pengertian tasawuf yang disampaikan seorang tokoh sufi modern yaitu Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 289 H.) yang menyebutkan, “Tasawuf adalah riyadhah (latihan) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat yang menyamai binatang) dan menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar menepati janji terhadap Allah swt. dan mengikuti sunah Rasululullah SAW.”

Mencermati definisi ini, bisa kita simpulkan bahwa tasawuf adalah latihan untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya dengan akhlak mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa yang disunahkan Rasulullah SAW. Wallahu A’lam.