July 22, 2008

Pluralisme Hablumminannas dalam konteks Hablumminallah


Irshad Manji. Pernah dengar nama itu? Baru 30 menit yang lalu gue baca buku--yang konon ditulis oleh seorang muslimah lesbian (tapi plural banget)--isinya cuma siratan dalam 1 kalimat: 'Pluralisme hablumminnas dalam konteks hablumminallah'.

Dalam "The Trouble with Islam Today" (Edisi terjemahan berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut”, oleh Herlina Permata Sari). Dia banyak mengulas hubungan antar manusia yang didogma oleh kungkungan konsep agama. Tentang kebebasannya berfikir dan berijtihad tentang realita kehidupan beragama, juga tentang kebebasannya bertindak atas dasar reformasi muslim dan keberanian moral. Hal yang paling peka dalam kehidupan beragama pasca Rasulullah SAW mangkat.

Tiga minggu setelah penerbitannya (k.l. 5 tahun y.l.), buku tersebut menduduki puncak jumlah penjualan buku terbanyak. Para tokoh Islam pun pada akhirnya menyadari bahwa orang-orang tidak membutuhkan persetujuan mereka untuk membaca buku ini. Bahkan, akibat begitu kerasnya mereka mengutuk buku ini, banyak orang yang malah memutuskan untuk mulai membacanya. Para tokoh Islam itu pada akhirnya terpaksa melibatkan diri mereka dalam perdebatan–-yang sebelumnya mereka kira bisa diabaikan begitu saja mengingat merekalah yang selama ini menentukan apa yang otentik dan apa yang tidak otentik. Faktanya, orang-orang mulai membaca gagasan-gagasan dalam buku itu serta tak peduli dengan pendapat para tokoh tersebut. Lebih jauh lagi, semakin banyak yang mulai melibatkan diri dalam perbincangan mengenai pembaruan Islam, bahkan tanpa persetujuan dari para ulama.

Banyak kaum muda Muslim mengungkapkan via e-mailnya bahwa mereka sebelumnya merasa tidak akan mungkin mengemukakan isu-isu tersebut di rumah, madrasah ataupun masjid. Mereka pun bakal dikecam gara-gara mendiskusikan gagasan-gagasannya dan mengutarakan pendapat mereka secara bebas.

Setelah buku itu terbit, Irshad Manji menerima banyak e-mail dari kaum muda Muslim di Timur Tengah yang memintanya untuk menerjemahkan buku itu ke bahasa Arab dan memuatnya di website. Sehingga mereka bisa membaca buku ini secara pribadi dan aman. Mereka mengatakan, “Kami mungkin saja tidak bersepakat dengan poin anda, namun paling tidak kami dapat memperdebatkannya begitu kami mendapat akses menuju informasi tersebut.” Para pemuda itu benar-benar menginginkan perdebatan yang sejujurnya mengenai Islam.

Akhirnya, selain ke bahasa Arab, buku tersebut juga diterjemahkan ke bahasa Urdu dan Persia. Di Iran, buku ini dilarang total. Delapanbelas bulan kemudian, terjemahan Arabnya telah didownload sekitar setengah juta kali, yang mengindikasikan adanya dahaga untuk meliberalisasi pola pikir kaum Muslim. Sayangnya, tidak banyak yang berani bersuara secara terbuka dan nyaring. Ketakutan untuk berbicara terbuka tidak hanya terjadi di dunia Islam tradisional, namun juga di Amerika Serikat – di kalangan anak muda Muslim kelahiran Amerika yang masih saja bergumul dengan pengaruh budaya tribal Arab yang diterapkan oleh keluarga mereka.

Dalam wawancara oleh JIL, dia berujar: "...Pengetahuan kita amatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa berlagak laiknya Tuhan. Hanya Tuhan lah Tuhan. Sementara kita di atas bumi ini harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat di mana kita dapat berbeda, berdebat, dan bertentangan satu sama lain secara damai, beradab dan tanpa rasa takut. Jika kita melakukan itu, berarti kita sedang memuja Tuhan, karena dengan demikian berarti kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran mutlak..."

Memang, sebuah ide dan pemikiran, sebaik-baiknya ide dan pemikiran itu akan terbuang dalam crash bag secara percuma. Terutama bila dikaitkan pada keengganan untuk berfikir dan berijtihad...

Salut, pada sikap yang tidak hanya mau menunggu tanpa harus mau bersinggungan dengan resiko sekecil apapun.

No comments: