July 30, 2008

Karl Friedrich May (1842-1912)


“Menang, kemenangan besar ! Saya lihat semuanya cerah !” Itu konon kata-kata terakhir Karl Friedrich May (1842-1912), pencipta tokoh Old Shatterhand, Winnetou dan Kara Ben Nemsi itu, sebelum tutup usia pada umur 70. Saat itu dia terkapar dan mengigau di kamar tidur vila mewahnya di Radebeul dekat Dresden. Kalau mau dikatakan ada suatu kematian yang agung, mungkin itulah saat kematian Karl May pada 30 Maret 1912. Di ujung hari itu, Karl May seakan-akan tampil sebagai Mannitou yang Agung, dewa orang Indian ciptaannya yang berhak memindahkan roh dari jasad menuju hidup dalam keabadian.

Saat wafat, selain meninggalkan sejumlah kekayaan hasil karya kisah petualangannya, dia juga meninggalkan dua orang janda, seperangkat peralatan kerja yang lengkap, tiga senapan legendaris khas jagoan ciptaannya, serta 73 jilid karyanya yang kalau dideretkan mencapai panjang sekitar 2,5 m.

Namun bagi orang yang hidup sezamannya, Karl May juga meninggalkan berbagai pro dan kontra mengenai diri pribadinya. Untungnya, di tengah rasa benci dan antipati beberapa orang tertentu, masih ada seorang Bertha von Suttner yang menghargai pribadi May. “Dalam dirinya yang begitu kontroversial, sebenarnya juga berkobar api kebaikan”, kata Von Suttner, pemegang Hadiah Nobel untuk kebebasan itu. Bertha juga tercatat sebagai salah seorang dari 3.000-an hadirin dalam ceramah terakhir Karl May di Sophiensaal, hanya delapan hari sebelum kematian “bapaknya” Old Shatterhand itu. Kebetulan dalam ceramah itu hadir juga Adolf Hitler, hingga di saat Hitler menjadi tokoh adikuasa, dia pun ikut mengusulkan agar Karl May diakui secara nasional.

Apa May termasuk pembual atau sastrawan. Apakah dia itu pantas menjadi teladan bagi kaum muda, atau malah pemberi contoh buruk. Lepas dari segala sisi kurang-lebihnya, Karl May itu harus diakui sebagai penulis yang luar biasa sukses. Buku-buku cetakannya, sementara ini di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 100 juta lebih. Bahkan di Jerman sendiri, selama satu abad ini hampir tidak ada anak-anak Jerman yang tidak terpincut membaca kisah petualangan tokoh May, entah ke Kurdistan, ke padang garam Arab atau ke daerah prairi di Amerika Utara.

Khususnya kisah petualangan jagoan kelahiran Sachsen, Old Shatterhand bersama pasangannya Winnetou yang merambah padang prairi wild west yang penuh deru peluru, serta desing anak panah bercampur jotosan di sela tembakan senapan, ternyata tidak hanya memabukkan bocah sekolah menengah saja, namun juga mencandui beberapa budayawan besar. Misalnya Dramawan Carl Zuckmayer tak segan menyebut nama depan putrinya dengan panggilan Winnetou. Penggemar buku Karl May lainnya, ternyata mengagetkan sekali. Beberapa sumber menyatakan kalau Albert Einstein, Hermann Hesse, Karl Liebkneckt, Albert Schweitzer, Adolf Hitler dan lainnya adalah pecandu berat buku karya May.

Hasil penyelidikan terakhir terhadap kisah kehidupan dan karya Karl May, telah dilakukan oleh Hamburger Verlag Hoffmann dan Campe, berupa sebuah buku berjudul "Swallow, Kuda Liar yang Setia" setebal 420 halaman, tulisan Erich Loest (Leipzig). Buku itu menceritakan kisah asal-muasal melambungnya Karl May, dari seorang narapidana menjadi penulis yang sangat terkenal serta amat dipuja kaum muda Jerman.

Dalam buku itu, Loest menyitir kembali buku dan surat-surat Karl May, akte kepolisian, protokol pemeriksaan dan berita-berita pengadilan. Sebagian dari dokumen itu diterbitkan dalam "Der Groesse Karl May Bildband". Di sini terlihat betapa dunia kanak-kanak May begitu muram dan suram, amat berbeda dengan kecerahan kisah petualangannya di prairi ataupun padang pasir.

Mulai mencuri dan menipu

Di Ernsthal, sebuah daerah kumuh dan miskin di dekat Chemnitz (sekarang Kota Karl-Marx), Karl Friedrich May lahir pada 25 Februari 1842, pukul 20.00, sebagai anak kelima dari 14 bersaudara. Ibunya, Christiane Wilhelmine Weise, seorang bidan, di usia antara 19–43 tahun disibukkan dengan melahirkan anak-anak hasil perkawinannya dengan seorang penenun, Heinrich August May. Sembilan di antara ke-14 anak mereka itu meninggal dalam usia kanak-kanaknya. Hanya Karl dan dua saudara perempuannya yang berhasil bertahan hidup hingga usia dewasa.

Di kota berpenduduk tak sampai 3.000 jiwa yang sebagian besar hidup dari menenun, di awal abad ke-19 itu keadaannya terus makin memburuk. Tak heran bila mata pencaharian “sampingan” akhirnya juga tidak bisa dihindari, seperti menyelundup dll. Penyakit kurang gizi pun merajalela, serta amat menentukan mati-hidupnya seseorang pada waktu itu.

Dalam keadaan hidup yang serba kekurangan itulah, Karl May sempat terserang buta di awal kehidupannya sebagai anak kecil. Untung sekali, Karl kecil sembuh dan dapat melihat kembali ketika berumur sekitar 5 tahun. Tapi tubuhnya tetap kekurangan gizi, sehingga Karl pun tumbuh menjadi anak yang lemah. Di sekitar usia enam tahun, Karl yang berbadan lemah belum sanggup berdiri, apalagi berjalan. Namun, di dalam keadaan hidup dan tubuh yang boleh dikata tak berdaya itu, kiranya justru semakin mengeraskan semangat hidup, serta mengobarkan lidah api perjuangan dalam dirinya.

Saat Karl masih kecil, biasanya setiap pulang sekolah, sering mampir di sebuah warung. Biasanya dia langsung menuju ke suatu pojok kedai itu, karena di sana ada sebuah meja dan di atasnya selalu tersedia sebuah buku cerita tua dengan gambar-gambar lusuh. Buku ini mengisahkan dongeng menegangkan tentang kepala perampok Rinaldo Rinaldini. Di sinilah Karl mulai mengenal dan tergila-gila dengan cerita-cerita khayalan yang menegangkan, khususnya kehadiran seorang tokoh kepala perampok yang begitu “mengagumkan”. Mungkin karena pribadi perampok itu begitu dermawan, dia selalu merampok orang kaya, kemudian harta jarahannya selalu dibagi-bagikan kepada orang miskin.

Selain Karl May sejak kecil sudah keranjingan membaca buku petualangan, juga prestasinya di sekolah cukup baik. Misalnya untuk pelajaran berhitung, Karl selalu unggul sekali melumat angka-angka, hingga tak seorang teman sekelasnya pun mampu menandingi keenceran otak Karl dalam soal ini.

Pada usia akil balik ke-14 tahunnya, seorang bangsawan Jerman tertarik pada kepintaran Karl, lalu dia bersedia menyandang dana untuk Karl agar meneruskan pendidikan di sebuah sekolah guru di Waldenburg. Di sana Karl dengan leluasa mendalami pelajaran berhitung, ilmu bumi, sejarah dan sedikit bahasa Latin, kesenian Jerman, bahkan belajar piano dan orgel. Di sekolah itu juga, Karl ditugasi mengurus alat-alat penerangan, termasuk persediaan lilin.

Dua tahun kemudian, Karl sebagai penanggung jawab alat penerangan ruang asrama, tertangkap oleh rekan seasramanya. Karl ketahuan mencuri enam buah lilin! Batangan lilin itu terbukti ada di dalam kopernya. Namun Karl berkelit, dia sama sekali tidak merasa kelakuannya itu suatu kesalahan. Prinsip pengambilan lilin itu demi suatu tujuan yang baik, yakni untuk diberikan kepada orang tua serta saudara perempuannya agar menjadi cahaya penerang di malam Natal !

Perbuatannya itu tetap dianggap kesalahan. Karl May pun dikeluarkan dari sekolah di Waldenburg, lalu dipindahkan ke Plauen. Di sekolah baru ini, Karl berhasil menyelesaikan sekolahnya dan memperoleh pekerjaan sebagai guru pembantu pada suatu sekolah anak-anak miskin. Tapi jabatan ini hanya berlangsung 14 hari saja. Di sana, Karl bikin ulah lagi. Penyewa kamar menuduhnya selalu bersikap tidak sopan, serta sering kali berbohong pada nyonya rumah. Reputasi buruk ini mengakibatkan Karl tidak bisa menjadi pengajar di sekolah pemerintah.

Akhirnya si guru muda yang masih mentah pengalamannya ini, diterima bekerja di sebuah sekolah dasar di kawasan pabrik Sobrig dan Claus di Alt-Chemnitz. Ruang kelas sekolah itu amat kacau balau, maklum saja karena semua muridnya anak-anak buruh pabrik. Di saat memasuki hari libur Natal pertama, lagi-lagi Karl May dituduh mencuri jam saku milik teman sekamarnya. Kali ini Karl ditahan polisi. Walaupun dia memberikan alasan hanya meminjam jam tangan itu, namun hakim di ruang sidang tetap mengetokkan palu dengan vonis hukuman bui selama enam minggu.

Dokter dan polisi gadungan
Peristiwa ini benar-benar memukul nuraninya. Rasa ini terbaca dalam kata-katanya : “ …..peristiwa ini benar-benar macam pukulan keras di kepala, serta hampir saja menghancurkan diri sendiri ………walau demikian saya berusaha untuk tegak kembali, itu pun hanya yang tampak di luar saja, sedangkan dalam diri sendiri, saya merasa tetap bagai terbaring dan terbius, sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan ……..Saya memang sakit jiwa tapi tidak sakit pikiran ……….”

Setelah dibebaskan, Karl pun kembali ke rumah orang tuanya di Ernsthal. Selama itu dia pun menganggur, tak ada lowongan pekerjaan baginya. Lebih sial lagi pada 20 Juni 1863, nama Karl May sebagai calon pegawai negeri dicoret, sedangkan ijazahnya pun dibekukan. Itu berarti, kalau ingin mengulang profesinya sebagai pengajar, dia harus mulai dan menapak lagi dari nol.

Terpuruk di pojok kesialan serta terjerembab di lubang pengangguran, Karl May mulai beraksi lagi. Dia menggunakan keenceran pikirannya untuk membaca situasi, lalu mulailah dia melakukan pencurian kecil-kecilan dan menipu enteng-entengan. Misalnya Karl mengaku kepada seorang pemilik pabrik cuka, kalau dirinya itu bergelar Dr. Med. Heilig, serta mantan dokter mata militer dari Rochlitz. Kemudian Karl menyewa kamar, setelah itu – sekitar dua jam kemudian – Karl sudah memesan sebuah mantel bulu dari sebuah toko mantel dengan alamat barunya. Tak lama datanglah kiriman mantel itu. Sementara kurir pembawa mantel masih menunggui pembayarannya di muka rumah tumpangannya, Karl sudah minggat dengan mantel bulu itu lewat pintu belakang, kemudian raib bersama kereta api menuju Leipzig.

Tak lama kemudian, di Thomaskirchhof 12 hadirlah seorang pemuda berbadan kecil, yang mengaku sebagai ahli tata buku dan berniat menyewa sebuah rumah di sana. Tak sampai beberapa hari, pemuda yang ternyata Karl May itu sudah berulah dengan modus operandi serupa, yakni memesan barang mewah dan langsung raib bersama barang pesanannya, tanpa bayaran sama sekali. Induk semang di alamat baru Karl itu, kontan mengadukannya ke polisi dan sial sekali Karl kali ini tertangkap.

Untuk praktek penipuannya itu, Karl harus mendekam di kamar bui Lembaga Pemasyarakatan Osterstein, Zwickau, selama empat tahun (sampai 1868). Namun, pemuda Karl ini tidak juga kapok untuk menipu. Pengalaman di penjara tidak membuatnya jera, malah sepertinya ada semacam dorongan kuat dalam dirinya serta keinginan keras untuk “membalas dendam”. Hal ini terbukti !

Baru saja lima bulan menghirup udara bebas, Karl May malah makin nekat dan mengaku dirinya sebagai letnan polisi. Dia mendatangi seorang pemilik toko kecil di Wiederau, lalu dengan sikap tegas dan suara amat meyakinkan, Karl menyatakan mensinyalir adanya uang kertas palsu yang beredar di toko itu. Lalu dengan sigap “Letnan” May ini menemukan selembar uang yang dibilang uang palsu. Untuk itu, polisi tetiron ini meminta agar si pemilik toko menyerahkan semua uang kertas dalam lacinya, guna diperiksa lebih lanjut. Kemudian Karl merasa uang sitaan itu terlalu sedikit, dia pun lalu “menyita” sebuah jam silinder bersepuh emas dari toko itu, dengan alasan jam silinder itu pun sebagai barang curian.

Untuk meyakinkan pemilik toko, sang polisi palsu ini mengajaknya bersama-sama pergi ke kantor polisi. Tapi di tengah jalan, si pemilik uang “palsu” itu ditinggalkan sejenak. Tak lama, uang dan jam itu pun tidak pernah kembali, karena sang “letnan polisi” juga tidak pernah lagi terlihat lagi batang hidungnya.

Barang pendeta pun disikat

Pada bulan April 1869 (ketika berumur 27 tahun), Karl beroperasi lagi dan lagi-lagi menyaru sebagai polisi rahasia. Kali ini dia mendatangi seorang penjual alat-alat rumah tangga, lalu dengan keras menginstruksikan kalau dirinya sedang dalam tugas istimewa dan harus memeriksa uang kontan yang ada di sana. Karl pun dengan semena-mena menyita sebagian uang yang diperlihatkan pemiliknya dengan kilah sebagai barang bukti, kalau orang itu menyimpan dan mengedarkan uang palsu. Kepada pemilik uang “palsu”, Karl memerintahkan agar ikut dengannya ke kantor polisi terdekat, tapi di tengah perjalanan, Karl mengaku sakit perut dan permisi mencari WC umum. Sayangnya, sang pemilik terus menguntit sang “polisi rahasia”, sampai di muka pintu WC. Karl mulai kelabakan, tapi otak penipunya segera mengeluarkan suara ancaman, kalau si pemilik uang masih terus menguntitnya, maka Karl tak segan-segan menembaknya dengan senjata api. Gertakan ini manjur juga, sang pemilik uang menanti Karl di tempat agak jauh, sedangkan “polisi rahasia” yang sedang buang hajat besar itu pun kabur dan lenyap berikut uang sitaannya.

Berita penipuan ini cepat tersebar, malah wajah si penipu yang bertubuh tidak besar dengan janggut tipis kecoklatan dan rambut gondrong coklat di bawah topi lebar berwarna coklat, disiarkan dari mulut ke mulut. Maka ketika Karl “Penipu” May pada bulan April 1869 pulang ke rumahnya di Ernsthal, berita itu sudah sampai di kampung halamannya. Karl pun buru-buru hengkang dari rumah dan tetangganya. Dia melarikan diri ke Schwarzenberg, Bremen, dan kembali ke Sachsen. Namun pada bulan Mei, tahu-tahu dia muncul lagi di Ernsthal. Karl bukan mengetuk pintu rumah orang tuanya, tapi menuju rumah Pendeta Weisspflog.

Setelah basa-basi dan menjual cerita sedih, Karl dengan tega menyikat sebuah mobil mainan anak-anak, satu kap lampu, kacamata Pak Pendeta, sebuah tas kerja dan dua dompet. Namun aksi pencurian ini kurang sukses, sebab saat Karl sudah berhasil mencuri seekor kuda keluar dari kandangnya, lalu menuntun kuda curian milik pemilik kedai makanan dengan tenang, tahu-tahu pemilik kuda itu memergokinya justru di saat Karl May mau melego kuda itu ke tukang jagal !

Tercatat pada 2 Juni 1869, pukul 03.00, Karl tertangkap di Hohenstein dan dengan tangan terborgol ia dijebloskan petugas hukum ke Penjara di Wiederau, lalu dipindahkan lagi ke Werdau. Tak lama, terpidana Karl pun dipindahkan ke Penjara Muelsen St. Jacob. Di penjara inilah Karl dengan otak dan ototnya, berhasil melarikan diri dan lagi-lagi raib.

Pada 4 Januari 1870 masuk berita lagi, kalau seorang pencuri dikenal tertangkap di Algersdorf. Orang itu bernama Albin Wadenbach berasal dari Orby, Martinique, mengaku memiliki tanah pertanian warisan ayahnya, serta mengaku masih berkeluarga dengan beberapa nama terkenal di daerah itu. Akhirnya polisi Dresden meluruskan informasi ini, serta menerangkan kalau Albin Wadenbach dari Orby itu identik dengan mantan guru sekolah dan seorang penjahat berbahaya yang harus ditangkap dan aslinya bernama Karl Friedrich May !

Winnetou

Untuk sederetan kejahatan yang dilakukannya, Karl dijatuhi hukuman empat tahun di penjara kelas berat Waldheim (1870 – 1874). Empat tahun di Penjara Waldheim merupakan masa paling suram dalam hidup May. Mungkin untuk melewatkan waktu panjang di ruang berjeruji, Karl mengembangkan fantasinya, lalu benaknya kini subur dengan segala imajinasi obsesi tentang heroisme. Kepribadiannya kian aneh, sikap memberontak pada lingkungannya, makin mengembangkan daya imajinasi yang tak mungkin dihentikan lagi. Terhadap sesama narapidana, bahkan pada hakim yang mengadilinya pun, Karl sering membual dan bercerita hebat tentang masa lalunya, kalau dirinya itu seorang jagoan kelas kakap. Sebagai contoh, katanya, dia pernah melarikan diri dari Penjara Prags yang terkenal bersistem penjagaan paling keras dan ketat, dengan menyandera seorang sipir bui, lalu kabur dengan mengendarai kuda yang congklang berlari cepat.

Pada suatu malam di dalam selnya, Karl May, si narapidana no. 402 itu, untuk pertama kalinya bermimpi menjelajahi daerah Indian dengan mengendarai Swallow, kuda jantan hebat milik Old Shatterhand. Mimpi ini dikisahkan ke rekan napi lainnya. Karl sendiri lama-kelamaan makin terkenal sebagai napi bernomor 402 yang setengah gila dan amat suka berkhayal. Untung seorang penasihat rohani penjara, segera mendatangi dan menganjurkan agar segala lamunan plus bualannya itu, terutama tentang mustang bernama Swallow dan penunggangnya – si jago bertinju besi Old Shatterhand – supaya dikisahkan melalui tulisan tangan saja. Rupanya, nasihat ini amat mujarab.

Seketika itu juga, Karl May menemukan saat paling bahagianya, yakni saat menulis segala fantasi dan imajinasinya di ruangan penjara yang serba dijaga ketat. Tangannya kian lincah menerjemahkan ide yang meletup di benaknya, pikirannya kian menerawang jauh menembus waktu dan tempat. Dari penjara yang pengap dan hidup sebagai napi yang serba keras, si bandit bernomor induk napi 402 mulai melahirkan tokoh jagoan tiada tara yang nanti menaklukkan jutaan pembacanya.

Dia serta merta menghasilkan dua kerangka kisah panjang dengan sekitar 200 judul catatan. Karya napi ini rupanya sempat terbaca keluar, hingga memincut minat dan intuisi bisnis seorang penerbit dari Dresden, Heinrich Gotthold Muenchmeyer. Lamunan Karl May dan impian bisnis Muenchmeyer, akhirnya terwujud dalam kerja sama nyata setelah si napi 402 ini 10 bulan keluar dari Penjara Waldheim. Muenchmeyer tiba-tiba muncul di Ernsthal, merayu May dengan segala janji muluk keuntungan apabila dia diberi hak menerbitkan segala karya May.

Untuk awalnya, terciptalah sebuah novel panjang, Wanda. Mulai saat itu pun Karl diangkat menjadi redaktur penerbitan. Untuk lebih dekat dan serius, May kemudian pindah ke Dresden. Tapi baru seminggu berada di Dresden, kepolisian Leipzig memerintahkan agar selama dua tahun, penipu dan pencuri kelas berat ini harus tetap berada di bawah pengawasan polisi. Jadi setiap hari Karl harus melapor ke polisi piket, serta diharuskan juga melapor kembali ke Ernsthal. Keadaan ini membuat Karl cukup sedih, seperti yang tercermin dalam tulisannya ini: “…. Baru saja saya memperoleh kepercayaan dari atasan saya, serta baru saja tumbuh rasa kepercayaan diri dan harapan untuk hidup lebih baik, di mana saya berusaha memperbaiki seluruh kesalahan hidup di masa lalu, juga menumbuhkan rasa ingin maju. Namun di saat itu pula, saya tahu kalau dosa dan kesalahan saya begitu berat dan besar, sehingga amat mempengaruhi seluruh jalan hidup saya yang berada di simpang depan …..”

Biarpun begitu, Karl dengan tertib menyetor tulisannya untuk Muenchmeyer, juga ke beberapa kantor penerbit surat kabar lain. Tulisan perdananya, memuat kisah berkisar tentang negara-negara asing dan penduduknya, tentunya termasuk perampok berkuda yang dermawan !

Dalam Majalah Familienblatt, setelah dua tulisan perihal petualangan seorang tokoh bernama Old Firehand, Karl kemudian untuk pertama kalinya menuliskan kisah tokoh besar bernama Winnetou, si putra Apache yang trengginas dan pintar sebagai anak alam tanah Amerika. Kisah itu begitu hidup, Karl May mampu menuturkan segala kejadiannya begitu hidup, seakan-akan menulis kepribadiannya dan pengalaman hidupnya sendiri. Oktober 1875, itulah bulan yang menjadi tonggak nyata, bukan hanya bagi May, tapi juga bagi jutaan pembaca Jerman! Sebuah mitologi baru telah lahir, seekor kuda Pegasus yang luar biasa tampil untuk pertama kalinya, yakni Swallow si kuda mustang – tunggangan jagoan tangguh bersenapan galak bernama Old Shatterhand, yang nanti menjadi saudara sedarahnya Winnetou.

Dituduh membunuh kaisar!

May betul-betul menemukan hidup barunya. Kemahirannya menurunkan segala buah pikiran – termasuk tentunya imajinasi dan fantasinya – kian liar macam Swallow si mustang yang mampu congklang di atas rerumputan semak prairi. Kata demi kata menjadi kalimat dan disambung rangkaian kisah panjang yang benar-benar menjerumuskan rasa penasaran pembaca kisahnya.

Pertengahan musim panas 1876, karena sering bolak-balik Ernsthal – Hohenstein, mampir di rumah saudara perempuannya, Christiane Wilhelmine, si bujangan berusia 34 tahun itu berkenalan dan jatuh cinta pada seorang gadis manis yang 14 tahun lebih muda, Emma Lina Pollmer, putri seorang tukang ckur. Karl dan Emma pun menikah pada tanggal 17 Agustus 1880. Perkawinan ini membawa dampak, yakni hubungannya dengan Muenchmeyer terputus, karena penerbit ini sebetulnya sudah lama mengincar May untuk dijodohkannya dengan adik perempuannya.

Waktu pun berjalan terus, Karl yang sudah tobat ternyata terpaksa menggunakan lagi “ilmu kunonya”: menipu ! Saat itu, ketika salah seorang paman istrinya tewas secara misterius di dekat sebuah kandang kuda, Karl yang sudah terkenal sebagai pengarang kisah wild west tahu-tahu berulah lagi. Dia mengaku sebagai jaksa agung, lalu mengusut di sebuah rumah makan untuk mencari sebab-musabab kematian misterius itu. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya dia diganjar hukuman penjara, Karl masuk bui di Hohenstein selama tiga minggu. Bahkan namanya makin cemar lagi, karena dia pun dituduh sebagai pengikut partai demokrat yang pernah dua kali mengadakan percobaan pembunuhan terhadap kaisar Jerman !

Jengkel akan vonisnya itu, “bapak” Old Shatterhand dan Winnetou yang tinggi tubuhnya cuma 1,66 m itu makin berpikir keras menciptakan tokoh pahlawan yang lebih hebat dan kuat, untuk mewakili rasa jengkelnya. Maka hadirlah Old Shatterhand, jagoan Jerman berasal dari Sachsen, mampu malang melintang di prairi Amerika dengan senjata “pembunuh beruang” bikinan Henry. Senapan ini pun difantasikan begitu hebat, sebab magasinnya mampu memuntahkan tembakan 24 peluru sekaligus berturut-turut. Larasnya terbuat dari baja istimewa. Walau mencurahkan begitu banyak peluru panas yang berkecepatan tinggi, tapi laras itu takkan kepanasan dan loyo. Juga Old Shatterhand (termasuk Kara Ben Nemsi) ini selain bersenapan ajaib, juga hanya bermodalkan kepalan bogem mentahnya yang dapat melibas pingsan musuhnya dengan sekali hantam, atau cukup dengan sekali tonjokan musuh pun jatuh bertekuk lutut sambil terkaing-kaing bilang tobat !

Tokoh-tokoh Karl May demikian perkasa, sebagaimana yang diingini dirinya maupun pembacanya juga. Tokohnya selalu berdarah Jerman dan tak terkalahkan, walau bertualang jauh di seberang kampung halamannya, keluar-masuk tanah bergurun pasir atau prairi liar milik orang Indian ganas, namun jagoannya tetap hebat. Dari bukunya saja, kaum pembaca karya May seakan-akan tersihir dan merasa dirinya masuk ke diri tokoh jagoan khayalan May. Misalnya saja saat Karl menggambarkan Old Shatterhand dengan menyandang bedil penumpas beruang disertai belati besar setajam silet, sambil menunggang Swallow dia malang melintang di sela desingan peluru dan anak panah maut, tapi selamat dan tetap perkasa. Juga Karl yang menciptakan Winnetou. Winnetou yang masyhur dengan senapan yang berhias taburan tancapan 254 paku perak, begitu fasih dan lihai bekerja sama dengan Old Shatterhand, memburu segala macam seterunya sampai ke ujung prairi atau pucuk bukit keramat sekali pun. Malah Karl mampu menggelitik pembacanya dengan penyajian tiga serangkai pemburu tua, serta pembaca jejak di prairi pimpinan Sam Hawkins yang serba kocak.

Justru apa yang digambarkan Karl terhadap tokohnya yang selain hebat perkasa, juga teramat bajik dan selalu memusuhi kejahatannya. Pribadi Karl sendiri sebetulnya bertolak belakang, dia sudah merasa capek untuk menjadi orang baik, apalagi tokoh Jerman yang terhormat !

Senjata hebat buat tentara Jerman
Setelah mantap, Karl bersama istrinya Emma, pindah ke Dresden. Pengarang masyhur ini tak lupa membuat kartu nama, tak kepalang tanggung dengan embel-embel gelar “Dr.” di depan namanya. Karl tetap Karl yang jahil otaknya, setiap dia menandatangani wesel, selalu lupa membayar. Dia pun dengan taktis tak pernah mencantumkan alamat baru pada penggemarnya, bila dia pindah tempat. Mungkin ini salah satu “tipuan” lagi dari May, agar penggemarnya yakin kalau dia selalu bertualang untuk menemukan pengalaman baru, bagai kisah dalam cerita-ceritanya yang selalu dinyatakan sebagai pengalaman bermuara dari keringat dan darahnya sendiri.

Buku-bukunya: Mustang Hitam, Di Kurdistan, Winnetou, Rahasia Bison Putih, Old Shatterhand, Sudut-sudut Balkan, Di Tanah Mahdi dan banyak lagi, merupakan kejadian di tahun sembilan puluhan abad lalu yang menjembatani dirinya menjadi penulis terkenal. Tak heran bila di zaman susah itu, Karl justru sedang banyak duit. Apalagi ketika buku-buku roman perjalanannya seperti Pertemuan Old Shatterhand dengan Winnetou (di mana Old Shatterhand merupakan personifikasi Karl May) dan kisah lanjutannya, diberitakan panjang lebar dalam brosur khusus penerbitan buku Fehsenfeld, membuat namanya meroket sebagai pengarang kontroversial yang mengundang opini pro dan kontra. Apa pun yang terjadi, terjadilah ……..Karl May makin ngetop di zamannya.

May juga memanfaatkan kesempatan ini, untuk mengkatrol lebih tinggi ketenarannya. Dia tak pernah menolak diwawancarai, malah di saat itu pun (kala alat fotografi masih baru), Karl dengan senang hati akan memperagakan pose-pose khas Karl May yang meniru habis-habisan gaya Old Shatterhand atau Kara Ben Nemsi. Misalnya Karl menulis begini : “Kalau penggemar buku saya mendesak meminta foto-foto, saya akan persilakan salah seorang pemuja itu, tentu saja seorang fotografer, untuk datang dan membiarkan dia mengambil foto diri saya sesukanya, sampai dia bosan dan bahkan pernah sampai ada yang menghasilkan sekitar 101 foto, lalu dia menerbitkan dan mempublikasikan ke mana-mana, biarlah ……”

Benar juga ! Pada tanggal 24 Juni 1896, Karl menandatangani kontrak sebesar 2.700 mark, lalu pada bulan Desember terbitan perdananya diresmikan dalam bentuk buku. Kartu undangan pun dibuat dan disebarluaskan. Karl May yang selama ini dalam status “inkognito”, kini hadir dalam wujud seorang manusia baru yang tampil dengan “laso dan kalung berhias taring beruang”: Dr. Karl May yang dikenal sebagai Old Shatterhand, ternyata kini bermukim di Radebeul-Dresden, tepatnya di Vila Shatterhand. Begitu bunyi publikasinya.

Memang di zaman keemasannya, May mampu membeli sebuah vila bergaya art nouveau di Kirchstrasse 5 di Radebeul yang dinamainya “Vila Shatterhand”. Rumah itu dipenuhi hiasan benda kenang-kenangan yang seakan-akan menggambarkan benda itu semua diperoleh di saat melakukan petualangannya. Di seluruh dinding ruangan vilanya yang luas, tergantung penuh bulu binatang awetan, pisau dan pedang. Ahli pembuat senapan Fuchs dari Koetscherbroda, khusus menciptakan senapan pesanan May sesuai deskripsi dalam kisahnya, misalnya ada senapan besar dengan nama “Penumpas Beruang”, “Henry” atau pun “Si Paku Perak”. Di samping meja tulisnya pun berdiri seekor singa awetan.

Dalam suatu kesempatan ceramah dan jumpa pengagumnya, si cebol Karl May tetap saja membual tentang si penunggang kuda berkaki bengkok yang memacu sambil berdiri di atas punggung kudanya. Dia pun dapat menjelaskan dengan lisan dan menarik sekali, sampai-sampai membuat pembaca bukunya terpukau ketika May mengisahkan betapa asyik dan seramnya menunggang kuda liar, si Swallow yang dipacu secepat kilat di padang prairi. Karl – pun – entah dari mana belajarnya – mampu mengutip seruan dan kata-kata khas Indian, entah itu suku Apache, Kiowa, Sioux dan lainnya. Malah dia mampu menggumamkan lantunan mantera suci dukun dan peramal Indian untuk memanggil hujan dan mengusir setan penyakit. Bahkan dia dengan jumawa mengisahkan pernah menolak permintaan orang Apache, saat Karl mau diangkat sebagai kepala suku Apache !

Sedangkan senapan buatan Henry yang begitu ampuh memuntahkan 24 peluru, serta sekali tembak dapat mencabut nyawa beruang grizzly pun, sekali waktu pernah diperlihatkan di muka kaisar Jerman. Akibatnya, senjata penumpas itu didaulat menjadi senjata resmi Angkatan Perang Jerman !

Juga Karl makin nekat saja, walau sebetulnya dia hanya bermodalkan bahasa Inggris yang terpenggal-penggal, namun dalam suratnya kepada seorang wanita ningrat Jerman, Karl mengaku kalau dirinya ini menguasai 30 bahasa asing beserta dialek-dialeknya. Nah, begitu kuatnya daya khayal yang merasuk lelaki ini, sampai-sampai Karl sendiri tidak bisa membedakan lagi mana yang nyata, mana pula yang tidak.

Misalnya sekali waktu, Karl May selain berfoto dengan busana khas penjerat binatang, lengkap dengan laso dan topi prairi, tapi juga berfoto dengan segala macam persenjataan Winnetou, termasuk senapan “Si Paku Perak”. Padahal, dalam bukunya dia menceritakan kalau senapan tersebut ikut terkubur bersama jasad Winnetou. Namun, Karl dengan keenceran fantasi dan kelihaiannya bersilat lidah, masih menjelaskan kepada pembacanya yang keheranan melihat masih adanya senjata itu. Maka dalam jilid buku selanjutnya dia menjelaskan kalau dia sudah menggalinya, kemudian mendapatkan kembali senjata itu, ketika dia memergoki kelompok Indian Sioux yang sedang membongkar kuburan Winnetou.

Idiot yang tidak tahu malu
Hasil seluruh karyanya yang teramat fantastis, tak urung mengundang segala kritik pedas, termasuk kritik yang menyudutkan kalau dirinya itu amat bermulut besar. Surat kabar Frankfurter Zeitung dengan gamblang mencacinya sebagai manusia campuran antara orang yang kekanak-kanakan dan manusia idiot. Bahkan beberapa pejabat wali gereja mencela dan mengkomentari kalau buku-buku romannya yang terbitan dahulu itu, terlalu erotis. Namun di samping semua itu, Karl May terutama dikecam karena kelancangan atau keberaniannya menggambarkan negara-negara asing yang sama sekali belum pernah dikunjunginya.

Pada suatu titik puncak kampanye untuk membuktikan keotentikan tulisannya, Karl May mengambil jalan amat brilian untuk menumpas kritik pedas itu. Dia pun segera melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang pernah tertulis dalam bukunya. Tentu saja, perjalanan ini bukan menunggang punggung keledai, unta atau kuda liar lagi, namun dia tiba di sana seperti pelancong kaya raya, duduk enak-enakan di atas kereta api atau kapal laut mewah.

Jadwal perjalanannya yang pertama adalah Mesir, Palestina dan Sri Lanka. Walau dalam trip itu dia selalu menderita disengat panas dan digigit serangga, bahkan pernah Karl terserang diare, tapi fantasinya tetap saja mengalir deras. Sehingga Erich Loest yang menyertai perjalanan jagoan ini menulis surat ke Jerman dan berkata : “…..belum sepuluh langkah Karl May keluar dari WC, dia sudah melaporkan kalau di Sri Lanka dia telah menemukan tambang emas yang selama ini belum pernah diketahui orang …..”

Sekembalinya dari Mesir, Karl May menceraikan Emma yang selama ini hubungannya sudah tidak harmonis lagi dengannya. Dia kemudian menikahi seorang janda temannya, Klara Ploehn yang sejak beberapa tahun ini bekerja sebagai pengurus surat menyurat May. Bersama Klara, untuk pertama kalinya dia mengadakan perjalanan ke Amerika, ke daerah reservasi orang Indian. Antara lain dia mendatangi daerah Buffalo, serta Forest Lawn Cemetery tempat kepala suku Sa-go-ye-wat-ha dan pengikutnya dulu bermukim. May yang sangat terkesan dengan tokoh Indian ini, hingga membuat dia merevisi tokoh Winnetou yang dianggap personifikasi dari dirinya. Lalu May beserta rombongannya juga berpiknik ke daerah reservasi orang Indian Tuscarora. Di sana May membuat foto bersama kepala sukunya, lalu ia menyempatkan pergi ke Toronto dan daerah-daerah wild west yang terkenal, seperti Colorado, New Mexico dan Arizona.

Hasil muhibahnya ke tanah Indian di Amerika Serikat, membuat fantasi dan imajinasi May memekar lagi. Dia kini berniat membuat buku baru yang ada hubungannya dengan perjalanannya semua itu. Kalau tadinya May hanya ingin “mempelajari” keotentikan orang Indian, ide itu akhirnya tersingkir. Dia malah mendapat “teori” baru. Katanya,”…..untuk menciptakan ras Indian-Jerman baru, harus ditemukan entah di mana di kawasan Atlantik ini yang merupakan prototipe Winnetou ……..”

Selama melakukan tur ke Tanah Indian ini, anehnya Karl tidak mengenakan pakaian ala penjerat cerpelai atau pemburu bison, justru Karl mengenakan setelan celana gelap dengan jas berompi, menutupi kemeja putih dengan leher baju kaku, serta berselempang syal warna-warni.

Tapi perjalanan menyeberangi lautan luas ini, untuk sementara dapat membuat dirinya melupakan masalah-masalah yang dihadapinya di Jerman, sampai di ujung akhir hayatnya sekalipun. Misalnya saja, gelar “doktor”nya ini kemudian ditolak pengadilan. Juga musuh utamanya, Rudolf Lebius, seorang penerbit kaya yang kemudian mempublikasikan data hukuman-hukuman yang pernah dijalani May, bahkan Lebius dengan terbuka menyebut May tak lain tak bukan hanyalah “penjahat ulung” dan “perusak kaum muda”.

Ketika Karl menggugat cacian kejam ini di muka pengadilan, seorang reporter pengadilan melaporkan peristiwa ini dengan judul sinis :”Old Shatterhand Dikuliti”. Sedang surat kabar lain menyebut doktor palsu Karl May hanyalah “kepala perampok” dan “pemerkosa kesusatraan”.

Tapi di antara orang-orang yang mencaci May, masih ada juga yang membelanya. Dua tahun sebelum ajalnya, seorang wartawan bernama Egon Erwin Kisch menurunkan tulisan yang bernada membela May. Dia menggambarkan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan May itu sebagai “kekeliruan di masa muda” saja. Begitu juga kenakalan penulis ini mengenai kisah fiktif yang penuh petualangan itu, “dimaafkan” oleh Kisch. Soalnya, menurut Kisch, sejak berusia 14 tahun, dia dan kawan-kawan sekolahnya memang sudah tahu kalau kisah-kisah petualangan May itu, hanyalah khayalan.

Karl May memang bukan macam Dante, namun Karl May bisa disebut sebagai “Shakespeare kaum muda” , kata seorang filsuf Ernst Bloch. Dengan bantuan atlas, leksikon, kamus, bahan penelitian, ilustrasi dan foto-foto, May mampu mendeskripsikan suatu negara eksotis di abad 19, berikut alam gersang gurun pasir atau prairi yang kejam, padahal dia sendiri belum pernah ke sana !

Karl May yang hidup di zaman kekaisaran, serta bergaya tulisan yang berbunga-bunga, tentunya memang tak cocok dan hanya membuat ngantuk pembaca zaman sekarang. Dalam sekitar 6.000-an halaman buku, pada tulisan Karl May memang banyak ditemukan hal yang tidak masuk akal bagi mata orang Eropa. Misalnya saat May memihak orang Indian Amerika dan membantu perjuangan pribumi Amerika itu menghadapi perampok tanah yang semuanya berkulit putih.

Namun, apa pun yang diperdebatkan orang mengenai nilai kesusastraan buku-buku Karl May, atau kisah isapan jempol tentang Old Shatterhand, Kara Ben Nemsi, Hadschi Halef Omar dan Winnetou yang angkuh itu, mereka sudah terlanjur menjadi tokoh literatur dunia. Hampir setiap tahun, karya May yang sudah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa di dunia itu, selalu saja mengalami cetak ulang. Di mana saja, sampai kini pun masih ada saja yang menyukai Old Shatterhand, Winnetou atau Kara Ben Nemsi, tanpa mau tahu kalau tokoh jagoan itu sebetulnya dilahirkan oleh “bandit” bernama Karl Friedrich May yang bergelar doktor palsu.

Di penjara pun Tetap Membual
“Sudah berapa kali kamu ditangkap ?”
“Tiga kali, Pak.”
“Bukan lima kali ?”
“Sebenarnya ……”
“Bukankan Anda sudah dua kali dibebaskan ?”
“Benar, Pak.”
“Berapa kali kamu pernah melarikan diri ?”
“Tidak pernah, Pak.”

Melarikan diri ? Justru dari interogasi dan kata “melarikan diri” itu, membuat May mendapat inspirasi baru. Lalu berkembanglah di fantasinya, kalau seorang jagoan yang kabur dari penjara bawah tanah, cukup dengan menyandera seorang sipir bui, lalu menyumbat mulut dan menyeret petugas penjara ini, turun dengan tali dari tembok tinggi. Setelah itu, Karl membayangkan dirinya bebas dari penjara dengan menyandera sipir bui, lalu tak seorang petugas pun berani menembaknya. Di luar sana sudah menanti kawan-kawannya dengan dua ekor kuda cadangan. Bebaslah sang jagoan tanpa pertumpahan darah, dia kembali bertualang membela kebenaran di jalan yang penuh kejahatan.

Kepala penjara itu membalik-balikkan berkas dari map bernomor 402. Di situ tertera kalau si napi no. 402 adalah seorang penipu, pencuri, tapi bukan perampok. Si 402 itu suka membual dan mengumbar cerita kosong, jadi napi ini menurutnya memang berbeda dengan penjahat lainnya yang mendekam di sana. Pak kepala kemudian berubah pikirannya, dia menganggap Karl May yang pembual ini berbahaya. May dikenakan hukuman ekstra, delapan hari meringkuk di ruang !

Dicerca Namun Dihormati
Sejak Karl May dikenal sebagai penulis produktif dari balik penjara, hampir seminggu sekali dia didatangi seorang wakil suatu penerbit sambil membawakan kertas dan mengambil alur cerita yang sudah ditulis May. Malah si no. 402 ini lama-kelamaan seperti sudah setengah dikontrak penerbit Muenchmeyer dari Dresden.

Kehidupan membosankan di penjara dan kamar bui, mewajibkan May mengisinya sepadat mungkin dengan kefasihannya menuliskan segala fantasi ke atas kertas. May begitu lancar menurunkan kalimat imajinasinya tentang tokoh-tokoh petualangan keras, di suatu tempat nun jauh dari Jerman di suatu prairi atau padang pasir yang dia sendiri tak tahu macam apa. Namun di sinilah kehebatan May, lamunannya menjadi kenyataan dalam kisah heroik yang nantinya amat mencandui segala pembacanya, hebatnya pula, sampai-sampai Old Shatterhand dan Kara Ben Nemsi itu dianggap personifikasi dirinya.

Di sela malam sepi yang penuh laknat, Karl May sering jatuh dalam kesedihan kalau mengingat masa kecilnya yang jauh dari kebahagiaan. Dia ingat kalau dirinya bertubuh kecil, selalu loyo dan kurang sehat dibandingkan dengan kawan-kawan semasa kanak-kanaknya dulu. Karl kecil selalu dianggap lamban dan sering tak diajak bermain “polisi dan perampok”. Pernah Karl nekat dan ikut bermain, tapi dia segera diusir dan ditimpuki kayu dan lumpur. May juga masih menangis, kalau ingat dirinya yang ringkih pernah dicampakkan ke luar dari warung dan terbanting ke tumpukan tahi sapi oleh seorang kakek berumur 70 tahun !

Akhirnya tibalah hari besar, seminggu lagi May akan bebas. Dia sudah mengumpulkan barang-barangnya, termasuk 200 gulungan kertas, 80 di antaranya sudah sarat tertulis bagan kisahnya yang bakal menghebohkan dunia.

Jadilah Karl seorang penulis mahir dan terkenal dengan menyandang gelar doktor buatannya sendiri. Dari otak dan tangan mantan bandit ini, mengalir terus dengan derasnya serial dan jilid-jilid kisah petualangan yang amat mencekam. Sampai kini, di peringatan 150 tahun Karl May, dunia kepustakaan masih menghargainya sebagai salah satu fenomena unik. Karl May yang banyak dicerca dan digunjingkan, kenyataannya tetap dihormati. Paling tidak di Jerman sendiri, sampai kini masih ada Yayasan Karl May (yang membantu pengarang miskin), serta Museum Karl May di Radebeul dan teater terbuka Karl May Freilichtspiele di Bad Segeberg.

Karl pun Kawin dan Kawin Lagi
Pada suatu hari, adik perempuan May, Wilhelmine, memperkenalkan May pada empat orang kawannya yang ingin berkenalan dengan May, si penulis yang redaktur. Salah seorang pengagumnya itu adalah Emma Pollmer, seorang gadis berumur 20 tahun yang tinggal bersama kakeknya, Barbier Pollmer, seorang pemangkas rambut. Emma, gadis bermata coklat dengan bulu mata lentik dan beralis tebal,, rupanya ingin dijodohkan Wilhelmine dengan kakaknya yang saat itu sudah berumur 34 tahun.

Pada pertemuan kedua kalinya, Emma menyatakan kekagumannya pada tulisan May di sebuah majalah keluarga, tentang kisah orang Indian. Keesokan paginya, May mendapat kunjungan kakek Emma, si tukang pangkas rambut, Pollmer. Kedatangannya itu bertujuan mengenal May, calon suami cucunya, lebih dekat. Tapi rupanya si kakek kurang tertarik, karena calon cucu menantunya ini hanya penulis yang nasibnya tidak jelas.

Waktu berjalan lagi dan May terus menulis. Pada suatu hari Natal, May dan Emma berjumpa lagi. Mereka sempat banyak bicara dan berupaya saling mengenal lebih dalam, sementara Emma masih takut dipergoki kakeknya yang tak suka kepada May. Akhirnya sebelum tahun baru, May menulis surat untuk Emma, menyatakan rencananya untuk menikahi gadis itu. Hubungan Emma dan May makin intim, akhirnya bocor dan diketahui si kakek Pollmer yang langsung naik pitam, kemudian mengejek May dan melecehkan apakah May mampu menghidupi Emma nantinya. Hal ini mengakibatkan timbulnya pertengkaran antara Emma dan kakeknya. “Pergi kamu dari rumah ini !” Keesokan harinya Emma memang benar-benar minggat, tak lama kemudian Emma menikah dan menjadi istri pertama “Dr.” Karl May.

Hubungan suami-istri ini mulai meretak, terutama setelah May makin kebanjiran uang akibat kisahnya tentang pria Jerman asal Sachsen yang menjadi jagoan di mana-mana, bisa di Kurdistan, di Balkan, Afrika atau sampai ke Amerika sekalipun. Emma mulai sering tidak berada di rumah. “Kalau sedang menulis, dia tak memperhatikan saya lagi. Kadang kala saya pun sampai tidak berani bicara sama Karl,” ujar Emma kepada kawannya. Beberapa tahun kemudian, Karl dan Emma datang ke suatu pesta, lalu berjumpa dengan Klara Ploehnt yang nanti dijadikan sekretaris Karl. Lama-kelamaan, Klara pun disunting Karl sebagai istri keduanya.
Seperti yang tercantum di Intisari, dan beberapa sumber. Tulisan itu muncul dalam rangka 150 tahun Karl May di 1992. Tulisan-tulisan tersebut mewakili pandangan tradisional orang Jerman terhadap May. Namun penelitian terakhir justru menunjukkan data dan kesimpulan yang berbeda. Dengan telaah empiris berdasarkan data-data yang ada dan kemudian dipelajari para scholar, disimpulkan hasil yang sebaliknya. Dengan demikian banyak data di tulisan ini yang salah dan hanya berdasarkan mitos belaka. Namun demikian, meskipun May telah membalas tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar itu dalam otobiografinya di 1910 -dua tahun sebelum meninggal- ada juga hal-hal yang sengaja atau tidak sengaja masih disembunyikan oleh May.

1 comment:

Anonymous said...

Kajian yang menarik..Terima kasih untuk posting komen di http://spatzi.wordpress.com. Mudah-mudahan di lain kesempatan punya kesempatan berbagi ilmu dengan Pak Bambang.