October 19, 2009

Mengapa Banyak Ilmu Kita Yang Menghilang?

Jika anda termasuk orang yang suka mengumpulkan sertifikat dan ijasah, sekali waktu coba perhatikan berapa banyak jumlah sertifikat yang anda miliki itu. Kemudian, perhatikan kembali sertifikat itu satu demi satu, sambil mengingat kembali event apa yang anda ikuti sehingga anda berhak mendapatkan sertifikatnya. Selanjutnya, coba ingat-ingat kembali; topik, ilmu atau keterampilan apa yang anda pelajari dalam event itu. Lalu, tanyakan kepada diri sendiri; berapa banyak ilmu atau keterampilan itu yang masih anda miliki hingga saat ini? Jika anda masih mengingat keseluruhan ilmu yang diwakili oleh sertifikat itu, anda termasuk orang istimewa. Sebab, kebanyakan orang hanya memiliki sertifikatnya saja, namun sudah tidak lagi memiliki ilmunya. Mengapa bisa demikian?

Di komplek perumahan yang saya tinggali terdapat beberapa unit rumah kosong. Kata orang, rumah-rumah tersebut sudah belasan tahun tidak ditinggali. Dulu, rumah-rumah itu tampak cantik dan tertata rapi. Namun setelah ditinggalkan, debu-debu yang dibiarkan lama kelamaan menyebabkan menempelnya segala kotoran. Lantas, hujan dan panas yang datang silih berganti menyebabkan kayu-kayu rumah itu menjadi lapuk. Sekarang, bahkan atapnya nyaris ambruk. Semua jendelanya hancur, pintu dan kusen-kusen tak lagi berujud. Beda sekali dengan rumah-rumah lain disekitarnya yang terus dihuni. Meskipun umurnya sama tak muda, namun, rumah-rumah berpenghuni tampak tetap indah tak kurang suatu apapun.

Saya menjadi teringat akan frase ’use it, or loose it’. Rumah kita akan lebih cepat hancur jika tidak digunakan. Hey, bukankah pepatah itu biasa kita gunakan untuk otak kita? The brain; use it, or loose it. Kita hanya memiliki dua opsi atas otak kita; (1) Menggunakannya, atau (2) Kehilangannya. Memang, kita tidak secara signifikan kehilangan ukuran fisik otak, namun mungkin kita kehilangan ’isinya’. Ukuran otak kita boleh saja besar. Dan kedalam otak yang besar itu boleh saja kita sudah memasukkan segala macam ilmu dan pengetahuan. Dan sebagai bukti bahwa kita pernah memasukkan banyak hal kedalam otak itu, kita memiliki sertifikatnya. Namun, ketika segala sesuatu yang sudah kita masukkan kedalam otak itu terlalu lama tidak digunakan, mungkin akan lenyap juga.

Sekarang, mari kita bahas 3 kemiripan rumah kosong tadi dengan ilmu pengetahuan kita. Pertama, sertifikat diklat identik dengan sertifikat kepemilikan properti. Kedua, tanah tempat rumah itu dibangun identik dengan otak tempat kita menyimpan ilmu pengetahuan. Ketiga, rumah yang dibangun ditanah itu identik dengan ilmu yang disimpan dalam otak kita.

Meskipun rumah itu tidak digunakan, sang pemilik rumah tidak serta merta kehilangan sertifikatnya. Dia tetap memiliki sertifikat itu. Sama dengan kita. Meskipun kita tidak menggunakan ilmu pengetahuan itu, namun kita masih memiliki sertifikatnya. Ukuran tanah rumah-rumah itu tidak berkurang. Mungkin ukuran otak kita juga tidak berkurang. Namun, rumah yang dibiarkan kosong itu kini nyaris tidak berbentuk lagi, hingga lebih cocok disebut ’reruntuhan’. Boleh jadi, ilmu pengetahuan kita yang bersertifikat itu pun kini tinggal ’reruntuhan’ karena sudah terlalu lama tidak digunakan.

Bayangkan jika sang pemilik rumah kosong tadi membeli properti dimana-mana. Mengumpulkan sertifikatnya. Lalu membiarkan semua properti yang sudah dibelinya tidak digunakan. Sekarang, bayangkan perusahaan memiliki komitment untuk mengirim kita mengikuti diklat ini dan itu, hingga mendapatkan banyak sertifikat. Namun, kita seperti sang pemilik rumah yang tidak menggunakan rumah-rumah yang telah dibelinya tadi. Boleh jadi, itulah sebabnya; mengapa banyak ilmu kita yang menghilang. Meskipun kita masih menyimpan sertifikatnya dalam map dan figura-figura yang indah; namun. Kita sudah tidak lagi memiliki ilmunya.

Tentang Hidup

“My mom said that life is like a box of chocolate,
you’ll never know what you gonna get”
-- anyn.


Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita akan alami dalam hidup. Kala kita disuguhi sebuah kotak coklat, apa yang kita rasakan? Senangkah? Atau penuh rasa curiga, jangan-jangan kotak ini berisi racun?

Kesenangan dalam hidup, mungkin itu sebuah pernikahan, kelahiran, lulus ujian, dapat kita analogikan seperti coklat tersebut.
Kesenangan selalu identik dengan manis. Manisnya hidup adalah dambaan dari setiap orang.

Tidak setiap orang mendapatkan sekotak coklat, bahkan ditawari pun tidak. Ada juga yang berusaha mencuri kotak coklat demi menggapai impian untuk mencicipi manisnya. Tetapi, setelah mendapatkan kotak, membuka dan merasakan coklat, tidak sedikit orang yang kemudian membuangnya ke tempat sampah. Ada juga yang hanya tersenyum getir mendapati rasa coklat yang jauh dari apa yang dibayangkan.

Begitulah hidup. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita peroleh. Hidup itu hanyalah fragmen-fragmen yang harus kita jalani setiap detiknya. Detik ini kita merasa senang, mungkin detik berikutnya sedih lah yang kita terima. Kita hanya mampu menjalani hidup apa adanya. Being pragmatist, mungkin bisa menjadi solusi dalam menjalani hidup.

Apa yang kita alami di masa lalu belum tentu lebih buruk dari apa yang kita hadapi sekarang. Belum tentu juga lebih indah dari yang kita miliki saat ini. Hanya dua yang kita bisa lakukan, sabar di kala susah dan syukur di kala senang. Atau cukup satu saja, senang di kala apa pun, sebuah tingkatan yang sulit untuk dijangkau oleh kita sebagai manusia biasa...

October 11, 2009

Lihatlah Kebaikan Orang Lain

Anjuran ini sama sekali tidak bermaksud agar kita selalu menyenangkan orang lain, karena sebenarnya kita takkan mampu melakukan hal itu. Namun agar hidup kita lebih produktif, lebih efektif, dan lebih ringan.

Bila semua orang senang mencari-cari sisi buruk orang lain, maka dunia akan penuh dengan kebingungan.
Kita akan berhadapan dengan puluhan nasehat, ratusan saran bahkan ribuan caci-maki.

Hal ini berlaku pula pada diri kita. Selalu melihat keburukan orang lain, membuat hidup menjadi kusam. Sedangkan dengan melihat kebaikan orang lain, hidup menjadi menyenangkan. Kita akan mempunyai lebih banyak waktu untuk menikmatinya.

Kulit jeruk terasa pahit. Sedangkan isi jeruk terasa manis menyegarkan. Bukankah kita belajar dari alam?
Kita mengupas dan menyingkirkan kulit jeruk yang pahit untuk mereguk kesegaran buah jeruk. Bila kita tak menyukai keburukan, maka singkirkan.

Kita mencari kebaikan, maka carilah... dan temukan itu pada setiap orang yang hadir dalam hidup ini.

...

Aku adalah kapal kokoh yang sanggup menahan beban, terbuat dari kayu terbaik, dengan layar gagah menentang angin. Kesejatianku adalah berlayar mengarungi samudra, menembus badai dan menemukan pantai harapan. Sehebat apapun kapal diciptakan, tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga. Dermaga adalah masa lalu. Tali penambat itu adalah ketakutan dan penyesalan.

Tak akan ku buang percuma seluruh daya kekuatan yang dianugerahkan.
Tak akan kubiarkan masa lalu menambat kita di situ. Akan kulepaskan diri dari ketakutan dan penyesalan.
Berlayar...

Yang memisahkan kapal dengan pantai harapan adalah topan badai, gelombang dan batu karang.
Yang memisahkan aku dengan keberhasilan adalah masalah yang menantang. Di situlah tanda kesejatian teruji. Hakikatnya kapal adalah berlayar menembus segala rintangan.
Hakikat diri adalah berkarya menemukan kebahagiaan bersama pantai harapan, dan pantai harapan itu adalah kamu...
...
Mengapa Berteriak?

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab;
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan. Sang guru lalu berkata; "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.

Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas.

Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya.
Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan; "Ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu mu."